Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama di Indonesia

Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama di Indonesia

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 227.62 KB
Jurusan Sejarah/Ilmu Politik/Studi Keagamaan
Jenis dokumen Esai/Makalah
  • Nahdlatul Ulama
  • Sejarah Islam di Indonesia
  • Organisasi Keagamaan

Ringkasan

I.Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama NU

Pendirian Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 merupakan respon terhadap kompleksitas situasi politik dan keagamaan di Indonesia. Berawal dari keprihatinan para kiai dan tokoh muda Islam, termasuk KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah, terhadap perkembangan Ahlussunnah wal Jamaah di tengah pengaruh gerakan Wahabi dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. NU didirikan sebagai organisasi ulama yang berpegang teguh pada mazhab Syafi'i, menjaga tradisi keagamaan, dan awalnya fokus pada gerakan sosial-keagamaan.

1. Konteks Pendirian NU Kompleksitas Situasi Politik dan Keagamaan

Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 sangat kompleks dan tidak terjadi secara instan. Proses pendiriannya melibatkan pergulatan panjang para pendirinya, seperti KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah, dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka berupaya menyikapi perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, di bawah kolonialisme Belanda. Situasi dunia Islam juga turut mempengaruhi, termasuk munculnya gerakan Wahabi di Arab Saudi, runtuhnya kekhalifahan di Turki, serta pasang surutnya gagasan Pan Islamisme. Perbedaan tajam di antara berbagai aliran dan pemikiran Islam juga menjadi latar belakang penting. Proses ini menunjukkan bahwa NU tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai respon terhadap dinamika sosial, politik, dan keagamaan yang kompleks di era tersebut. Perjuangan panjang ini menekankan pentingnya konteks sejarah dalam memahami NU dan perannya dalam masyarakat Indonesia.

2. NU sebagai Organisasi Ulama dan Pemegang Teguh Ahlussunnah wal Jamaah

Nahdlatul Ulama dibentuk sebagai organisasi ulama yang berkomitmen pada pelaksanaan ajaran agama Islam sesuai dengan salah satu mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali (Pasal 2, Anggaran Dasar NU 1928). Dalam praktiknya, NU lebih menekankan pada mazhab Syafi'i, yang terlihat jelas dalam orientasi fikih (hukum Islam) yang dianut. Hal ini terkait erat dengan basis organisasi NU, yaitu pesantren, yang umumnya mengajarkan fikih dan kitab-kitab karya ulama mazhab Syafi'i. Sebagai organisasi keagamaan, NU berupaya agar seluruh sikap dan perilaku warga Nahdliyin selaras dengan ajaran agama Islam dan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Komitmen terhadap Ahlussunnah wal Jamaah ini menjadi landasan ideologis yang kuat bagi NU dan menjadi salah satu faktor kunci dalam pembentukan dan perkembangan organisasi ini. Penggunaan mazhab Syafi'i di pesantren-pesantren turut membentuk karakteristik keagamaan NU.

3. Munculnya Komite Hijaz dan Transformasi Menjadi Nahdlatul Ulama

Kekhawatiran terhadap pengaruh gerakan Wahabi, yang dipimpin Ibnu Saud dan berhasil menaklukkan Arab, mendorong para pemuka pesantren, khususnya tokoh muda seperti KH Wahab Hasbullah dan sejumlah kiai lainnya, untuk mengambil tindakan. Dengan dukungan penuh dari ulama sepuh KH Hasyim Asy'ari, mereka mendirikan Komite Hijaz. Pertemuan pertama Komite Hijaz dilaksanakan pada 31 Januari 1926. Hasil pertemuan ini antara lain berupa pengiriman utusan ke Mekkah untuk memperjuangkan kebebasan pengikut Ahlussunnah wal Jamaah dalam menjalankan tradisi keagamaannya. Keputusan penting lainnya adalah pembubaran Komite Hijaz dan pembentukan Nahdlatul Ulama (NU), dengan tanggal 31 Januari 1926 ditetapkan sebagai hari lahir NU. Proses ini menunjukkan bagaimana respon terhadap isu keagamaan global, khususnya pengaruh Wahabi, dan usaha untuk menjaga kelangsungan tradisi keagamaan Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia turut memicu pendirian NU.

4. Perintisan Awal NU dan Pengaruh Kepulangan dari Mekkah

Jauh sebelum berdirinya NU secara resmi, terdapat beberapa organisasi yang menjadi cikal bakal. Kepulangan KH Wahab Hasbullah dan Kiai Mas Mansur dari Mekkah setelah Perang Dunia I menjadi titik balik penting. Sebelum pendirian NU, sudah ada Nahdhatul Watan (1914), Taswirul Afkar (1918), dan Nahdhatut Tujjar. Organisasi-organisasi ini menunjukkan perintisan awal yang dilakukan untuk mempersiapkan berdirinya NU. Pengalaman dan wawasan yang didapat dari Mekkah, khususnya dalam konteks perkembangan dunia Islam, kemungkinan besar turut mewarnai pemikiran dan strategi para pendiri NU dalam membentuk organisasi ini. Sejarah ini menunjukkan adanya proses panjang dan bertahap dalam berdirinya NU, bukan hanya sebagai sebuah peristiwa tunggal.

II.Peran Politik Nahdlatul Ulama NU dan Partai Kebangkitan Bangsa PKB

Seiring waktu, NU terlibat dalam politik praktis, termasuk menjadi partai politik sendiri pada 1952. Pada Pemilu 1955, NU meraih suara signifikan dan kursi di parlemen. Setelah masa Orde Baru, reformasi 1998 mendorong pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998 oleh tokoh-tokoh NU terkemuka seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). PKB, meskipun memiliki basis massa Nahdliyin yang kuat terutama di Jawa Timur, dirancang sebagai partai terbuka lintas agama dan golongan. Hubungan NU dan PKB seringkali menjadi sorotan, dengan PKB dianggap sebagai wadah politik resmi NU, meskipun dinamika internal dan pilihan politik warga Nahdliyin terkadang kompleks.

1. NU dalam Politik Praktis Dari Partai Sendiri Hingga Peleburan ke PPP

Perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah politik Indonesia ditandai dengan berbagai fase. Awalnya fokus pada gerakan sosial keagamaan, NU kemudian memasuki ranah politik praktis dengan menjadi partai politik sendiri sejak tahun 1952. Keputusan ini menandai perubahan signifikan dalam strategi perjuangan NU. Pada Pemilu 1955, NU menunjukkan kekuatan politiknya dengan memperoleh sekitar 7 juta suara (18,4%) dan 45 kursi di parlemen nasional, menempati posisi ketiga terbesar setelah Masyumi dan PNI. Namun, pada 5 Januari 1973, NU kemudian melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah langkah yang memicu kritik dari internal NU sendiri. Kritik tersebut antara lain menyoroti dugaan kurangnya perhatian elit politik terhadap kepentingan umat. Perubahan ini menunjukkan kompleksitas dan dinamika internal NU dalam menentukan posisi dan strategi politiknya. Perjalanan NU dalam politik menunjukkan pergeseran dari fokus keagamaan awal menuju keterlibatan langsung dalam sistem politik nasional.

2. Jejak Panjang Keterlibatan Kiai dalam Politik

Keterlibatan kiai dalam politik bukanlah hal baru, bahkan telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Pendirian NU sendiri didorong tidak hanya oleh keinginan untuk mempertahankan paham Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi juga oleh semangat nasionalisme dalam melawan kolonialisme. Pergerakan politik para kiai berlanjut hingga masa kemerdekaan, dengan NU sempat menjadi partai politik mandiri sebelum bergabung dengan Masyumi. Tiga alasan utama menjelaskan keterlibatan kiai dalam politik: pertama, ajaran Islam sendiri mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan hanya ritual dan moral; kedua, sejarah panjang keterlibatan kiai dalam politik, bahkan sejak zaman Kesultanan Mataram; dan ketiga, posisi kiai sebagai elit agama dengan pengaruh luas di masyarakat. Peran kiai semakin terlihat jelas saat sejumlah pesantren menjadi pusat strategi perlawanan terhadap penjajah, baik melalui perlawanan fisik maupun diplomasi. Keterlibatan kiai menunjukkan perpaduan antara agama, politik, dan perjuangan nasional.

3. Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa PKB dan Basis Dukungannya

Reformasi 1998 mendorong PBNU untuk kembali berperan dalam politik. Sebagai respons, PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Deklaratornya adalah tokoh-tokoh NU terkemuka seperti KH Ilyas Ruhiyat, KH Muchith Muzadi, KH Munasir Ali, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH Mustofa Bisri. PKB memiliki basis dukungan yang jelas, yaitu warga Nahdliyin, yang meskipun terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Timur, tetap memiliki pengaruh signifikan secara nasional. Dalam Pemilu 1999 dan 2004, PKB meraih suara signifikan, bahkan menggeser posisi PPP sebagai alternatif saluran politik warga Nahdliyin. Meskipun secara formal PBNU hanya mengakui PKB, munculnya partai lain seperti Partai Kebangkitan Umat (PKU) menunjukkan bahwa dukungan dari kalangan Nahdliyin tidak selalu monolitik. Pendirian PKB menandai upaya NU untuk memiliki wadah politik sendiri di era reformasi.

4. Pandangan Tokoh NU dan PKB Terhadap Hubungan Kedua Organisasi

Tokoh-tokoh penting seperti Ketua Umum PBNU, Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj, dan Rais Syuriah PBNU, KH Maruf Amin, menekankan pentingnya dukungan warga NU terhadap PKB. Mereka menganggap PKB sebagai satu-satunya partai yang memiliki AD/ART senafas dengan NU dan sebagai wadah penyaluran aspirasi politik warga Nahdliyin. Hubungan NU dan PKB dianggap bukan hanya ideologis, tetapi juga biologis, seperti hubungan orang tua dan anak. Di sisi lain, Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, menegaskan pentingnya sinergi NU dan PKB, menekankan bahwa NU membutuhkan PKB sebagai 'pedang politik', sementara PKB membutuhkan spirit NU agar tidak menjadi politik transaksional. Namun, konflik internal dalam PKB dan munculnya partai baru seperti PKBN menunjukkan bahwa hubungan antara NU dan PKB tidak selalu harmonis dan tetap memiliki dinamika.

III.Hubungan NU dan PKB di Kabupaten Gresik Studi Kasus

Penelitian ini fokus pada pola hubungan antara NU dan PKB di Kabupaten Gresik, Jawa Timur – sebuah daerah dengan konsentrasi pesantren yang tinggi. Analisis pola hubungan (dominasi, pluralisme, integrasi) antara kedua organisasi diteliti, mempertimbangkan faktor-faktor penghambat dan pendorong. Tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam penelitian meliputi pengurus PCNU dan DPC PKB Kabupaten Gresik. Studi ini bertujuan untuk memahami dinamika hubungan NU dan PKB, khususnya dalam konteks lokal Kabupaten Gresik.

1. Kabupaten Gresik sebagai Lokasi Studi Kasus

Penelitian ini memilih Kabupaten Gresik, Jawa Timur, sebagai lokasi studi kasus. Kabupaten Gresik dikenal sebagai 'Kota Santri' dengan keberadaan lebih dari 100 pondok pesantren. Pilihan ini didasarkan pada besarnya basis massa Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di wilayah Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Gresik. Konsentrasi pesantren yang tinggi di Gresik diharapkan dapat memberikan data yang kaya dan representatif untuk menganalisis hubungan NU dan PKB. Kekuatan basis massa NU dan PKB di Gresik menjadi faktor penting dalam menentukan lokasi penelitian ini. Dengan demikian, Kabupaten Gresik memberikan konteks yang ideal untuk meneliti dinamika hubungan NU dan PKB dalam lingkungan sosial dan budaya yang kental dengan pengaruh pesantren.

2. Kerangka Analisis Pola Hubungan NU dan PKB

Penelitian ini menganalisis pola hubungan antara NU dan PKB di Kabupaten Gresik berdasarkan tiga pola hubungan umum yang didasarkan pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi, yaitu: Domination, di mana satu kelompok menang dalam kompetisi dan konflik; Pluralism, di mana kelompok-kelompok memiliki pendirian tinggi dan saling menjaga independensi; dan Integration, di mana kedua organisasi saling menyatukan kesamaan dalam hal keagamaan, sosial, dan politik. Ketiga pola ini menjadi kerangka untuk memahami bagaimana NU dan PKB berinteraksi di Kabupaten Gresik. Dengan menganalisis ketiga pola ini, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi bentuk keterkaitan antara NU dan PKB, serta pengaruhnya terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi di daerah tersebut. Penggunaan kerangka ini memungkinkan pengklasifikasian hubungan NU dan PKB secara sistematis.

3. Metodologi Penelitian Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Sumber data primer berasal dari wawancara dengan Wakil Ketua PCNU Kabupaten Gresik (1 orang) dan Ketua DPC PKB Kabupaten Gresik (1 orang). Teknik wawancara yang digunakan meliputi wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku literatur, dokumen instansi, peraturan perundang-undangan, dan laporan terkait. Metode dokumentasi juga digunakan untuk melengkapi data primer. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, memilih informan kunci yang dianggap dapat memberikan informasi yang relevan dan mendalam terkait fokus penelitian. Penelitian ini menekankan pada kualitas data yang mendalam daripada jumlah sampel yang besar, sehingga metode kualitatif dinilai tepat untuk memahami kompleksitas hubungan NU dan PKB di Kabupaten Gresik.

IV.Pandangan Tokoh Terhadap Hubungan NU dan PKB

Tokoh-tokoh penting seperti KH Maruf Amin dan Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj menekankan pentingnya dukungan warga Nahdliyin terhadap PKB karena kesamaan ideologi dan sejarahnya dengan NU. Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB, juga menekankan pentingnya sinergi antara NU dan PKB untuk keberhasilan politik dan kemaslahatan umat. Namun, konflik internal dalam PKB dan munculnya partai lain menunjukkan kompleksitas hubungan ini.

1. Pandangan Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj

Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menyatakan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan satu-satunya partai politik yang memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang senafas dengan Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menekankan kesamaan ideologi antara NU dan PKB. Karena kesamaan ini, Prof. Said Aqil Siraj meminta agar warga NU mendukung dan memilih PKB pada Pemilu 2014. Pernyataan ini menegaskan pandangan beliau tentang keselarasan antara NU dan PKB dan pentingnya dukungan warga NU terhadap PKB. Prof. Said Aqil Siraj bahkan menganggap konyol jika ada warga NU yang tidak memilih PKB. Peran beliau dalam mempersiapkan pendirian PKB pada tahun 1998 juga menunjukkan komitmennya terhadap partai tersebut.

2. Ajakan KH Maruf Amin untuk Kembali ke PKB

KH Maruf Amin, Rais Syuriah PBNU, mengajak seluruh warga Nahdliyin untuk kembali bergabung ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Beliau meyakini bahwa persatuan elemen Nahdliyin dalam satu wadah politik akan memudahkan penampung aspirasi umat. Ajakan ini, yang diistilahkan sebagai 'Arruju' warruju' ilarruju'', didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, PKB adalah satu-satunya partai yang dilahirkan dari rahim NU. Kedua, hubungan NU dan PKB bukan hanya ideologis, tetapi juga biologis, seperti hubungan orang tua dan anak. Ketiga, warga Nahdliyin membutuhkan PKB sebagai wadah aspirasi politik, dan sebaliknya, PKB membutuhkan dukungan Nahdliyin untuk mewujudkan aspirasi politik demi kemaslahatan bersama. Ajakan ini menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan Nahdliyin dalam mendukung PKB untuk mencapai kemaslahatan publik.

3. Pernyataan Muhaimin Iskandar tentang Sinergi NU dan PKB

Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menegaskan bahwa PKB membutuhkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), dan sebaliknya. Beliau memandang NU tanpa PKB akan kehilangan 'pedang politik', sementara PKB tanpa spirit NU akan menjadi politik transaksional. Pernyataan ini menunjukkan pentingnya dukungan solid dari kalangan Nahdliyin terhadap PKB. Muhaimin menyinggung bahwa dukungan NU terhadap PKB sempat terpecah akibat konflik internal PKB dan berdirinya partai baru, PKBN. Namun, ia menekankan sejarah kuat antara PKB dan NU, mencontohkan terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebagai bukti sinergi tersebut. Pernyataan ini menyoroti pentingnya simbiosis mutualisme antara NU dan PKB demi tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan bangsa.