Perubahan Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945

Perubahan Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 578.98 KB
Jurusan Ilmu Hukum/Hukum Tata Negara
Jenis dokumen Esai/Makalah
  • Reformasi
  • Amandemen UUD 1945
  • Kewenangan MPR

Ringkasan

I.Perubahan Kedudukan dan Kewenangan MPR setelah Amandemen UUD 1945

Dokumen ini membahas perubahan signifikan pada kedudukan dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca empat kali amandemen UUD 1945 (Oktober 1999, Agustus 2000, November 2001, dan Agustus 2002). Sebelum amandemen, MPR dianggap sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan yang luas, termasuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Amandemen UUD 1945 secara substansial mengubah hal ini. MPR kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga negara lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan ini berpengaruh besar pada sistem parlemen Indonesia, yang kini bergeser dari sistem unikameral menuju sistem yang lebih kompleks. Pasal 2 UUD 1945 kini secara eksplisit mengatur komposisi dan kewenangan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD.

1. Kedudukan MPR Sebelum Amandemen UUD 1945

Sebelum amandemen UUD 1945, MPR memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini dilegitimasi oleh kewenangannya yang diatur dalam UUD 1945 naskah asli, yang menegaskan kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 naskah asli menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (2) Bab III menentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Penjelasan umum UUD 1945, yang diresmikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, memperkuat pemahaman ini dengan menyatakan Presiden dan Wakil Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, MPR dipahami sebagai lembaga paling tinggi atau lembaga tertinggi negara.

2. Perubahan Kedudukan MPR setelah Amandemen UUD 1945

Empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) mengubah secara substansial kedudukan MPR. Amandemen bertujuan menghindari kewenangan yang berlebihan dari satu lembaga negara terhadap lembaga negara lain. Perubahan ini berpengaruh besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama menyangkut hierarki dan kewenangan lembaga-lembaga negara. Pasca amandemen, MPR tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara. MPR kini menjadi lembaga negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 2 UUD 1945 setelah amandemen secara eksplisit mengatur komposisi dan kewenangan MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.

3. Kewenangan MPR Pasca Amandemen Perbandingan dengan DPR dan DPD

Pasal 2 UUD 1945 mengatur komposisi MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Pasal 3 UUD 1945 mengatur kewenangan MPR. Meskipun UUD 1945 secara eksplisit mengatur organisasi dan kewenangan MPR, kewenangannya kini berbeda dengan DPR dan DPD. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. DPD dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan memberikan pertimbangan pada RUU APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Hubungan MPR dengan DPR dan DPD lebih bersifat integratif karena MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD, berbeda dengan hubungan DPR dan DPD yang memiliki kewenangan legislasi yang lebih langsung bersinggungan. Walaupun berada dalam satu ruang lingkup kekuasaan legislatif, ketiga lembaga (MPR, DPR, dan DPD) memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dan saling melengkapi, mengimplementasikan doktrin pemisahan kekuasaan dan sistem checks and balances.

4. MPR dalam Sistem Parlemen Trikameral

Dokumen menguraikan bahwa sistem keanggotaan MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sistem parlemen trikameral (tiga kamar). Hal ini berbeda dengan sistem bikameral (dua kamar) yang umum di negara lain. Sistem trikameral ini merupakan konsekuensi dari amandemen UUD 1945, yang mengubah secara fundamental struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara. Dokumen membandingkan sistem ini dengan contoh sistem bikameral di Amerika Serikat, yang memiliki Kongres yang terdiri dari Senat dan House of Representatives. Perbedaan penjabaran keanggotaan MPR dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dengan sistem Kongres di Amerika Serikat ditekankan sebagai poin penting. Sejarah ketatanegaraan Indonesia, yang mencakup periode unikameral dan bikameral, juga diulas untuk memberikan perspektif yang lebih luas tentang perkembangan sistem parlemen Indonesia.

II.Hubungan Kewenangan MPR DPR dan DPD dalam Sistem Legislasi

Dokumen menjelaskan hubungan kewenangan antara MPR, DPR, dan DPD dalam sistem kekuasaan legislatif Indonesia. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPD memiliki kewenangan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) terkait pemerintah daerah dan memberikan pertimbangan atas RUU APBN. Hubungan MPR dengan DPR dan DPD bersifat integratif, karena MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Walaupun ketiga lembaga tersebut merupakan bagian dari kekuasaan legislatif, kewenangan mereka berbeda dan saling melengkapi, mencerminkan prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Dokumen ini juga menyinggung perbedaan dengan sistem bikameral di negara lain dan mengklasifikasikan sistem parlemen Indonesia pasca amandemen sebagai sistem trikameral.

1. Kewenangan DPR dalam Sistem Legislasi

Pasal 20 UUD 1945 memberikan DPR kekuasaan membentuk Undang-Undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014) mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 22B UUD 1945 mengatur pemberhentian anggota DPR. Lebih lanjut, Pasal 21 UUD 1945 memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Selain itu, DPR memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, serta hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, dan hak imunitas. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 memberikan detail lebih lanjut tentang tugas, fungsi, dan kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945.

2. Kewenangan DPD dan Hubungannya dengan DPR

Pasal 22 UUD 1945 mengatur kewenangan DPD. DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah, kecuali hal-hal yang menjadi kewenangan pusat (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Selain itu, DPD memiliki fungsi kontrol atau pengawasan atas implementasi peraturan yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah. Meskipun kedua lembaga memiliki kewenangan legislasi, kewenangan DPD dianggap lebih lemah dibandingkan DPR. Kerja sama strategis antara DPR dan DPD dapat dikembangkan melalui sinkronisasi tata tertib, harmonisasi hubungan dan tata kerja, serta dukungan politik terhadap amandemen UUD 1945.

3. Hubungan MPR DPR dan DPD dalam Sistem Legislasi

MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, memiliki hubungan yang berbeda dengan DPR dan DPD dalam sistem legislasi. DPD tidak memiliki hubungan kelembagaan yang erat dengan MPR. Kewenangan DPD tidak bersinggungan langsung dengan MPR, berbeda dengan hubungan DPD dan DPR. Pada masa Orde Baru, sebelum amandemen UUD 1945, DPD (saat itu sebagai Utusan Daerah) hanya terlibat dalam penetapan GBHN dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hubungan kewenangan MPR dan DPD terbatas pada kewenangan MPR yang diatur dalam UUD 1945, mengingat komposisi MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Jimly Asshiddiqie mengemukakan sinergi antara DPD dan MPR dalam proses impeachment, di mana DPR melakukan penuntutan dan DPD ikut menentukan vonis dalam persidangan MPR. Meskipun ketiga lembaga (MPR, DPR, dan DPD) merupakan penguasa dalam kekuasaan legislatif, terdapat perbedaan mendasar dalam hubungan kewenangan dan cara mereka menjalankan kewenangannya. MPR memiliki kewenangan yang tidak bersifat rutin seperti DPR dan DPD. Dokumen juga membandingkan sistem parlemen Indonesia dengan sistem unicameral dan bikameral di negara lain.

III.Tinjauan Sejarah Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dokumen menelusuri sejarah sistem ketatanegaraan Indonesia, mengklasifikasikannya ke dalam enam periode, dimulai dari UUD 1945 asli hingga pasca amandemen. Periode-periode tersebut meliputi: UUD 1945 (18 Agustus 1945), periode Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945 dengan demokrasi terpimpin, UUD 1945 masa Orde Baru, dan UUD 1945 pasca perubahan. Analisis sejarah ini memberikan konteks penting untuk memahami perkembangan sistem parlemen Indonesia dan evolusi kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD.

1. UUD 1945 18 Agustus 1945

Dokumen mencatat UUD 1945 versi pertama yang disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai titik awal sejarah ketatanegaraan Indonesia. Pada masa ini, kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR, yang juga memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem ini mencerminkan sistem pemerintahan yang terpusat pada MPR dan memperkuat kedudukan lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa awal kemerdekaan. UUD 1945 versi ini meletakkan dasar konstitusional bagi sistem pemerintahan Indonesia di tahap awal pembentukan negara.

2. Periode Konstitusi RIS dan UUDS 1950

Selanjutnya, dokumen menyebutkan periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai salah satu tahapan penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Konstitusi RIS, yang berlaku saat Indonesia menganut sistem federal, merupakan konsekuensi dari Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Periode ini menandai pergeseran signifikan dari sistem pemerintahan yang terpusat menuju sistem federal. Dokumen juga menyinggung Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, yang menandai transisi menuju sistem parlementer. Kedua periode ini menunjukan dinamika dan fluktuasi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam pencarian bentuk negara dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi politik dan sosial pada masa itu. Perubahan sistem ini berpengaruh besar terhadap pembagian dan mekanisme kekuasaan di Indonesia.

3. UUD 1945 pada Masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru

Dokumen menjelaskan masa Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai periode di mana UUD 1945 kembali diberlakukan, namun dengan interpretasi dan implementasi yang berbeda. Pada masa ini, kekuasaan eksekutif semakin terpusat pada presiden. Kemudian, dokumen membahas sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru. Periode ini ditandai dengan dominasi kekuasaan eksekutif dan pembatasan terhadap lembaga-lembaga lain. Kedua periode ini menunjukkan bagaimana UUD 1945 dapat diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda sesuai dengan konteks politik yang berlaku. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan signifikan dalam pembagian kekuasaan dan mekanisme pemerintahan di Indonesia.

4. UUD 1945 Pasca Perubahan

Dokumen terakhir membahas periode UUD 1945 pasca perubahan, yang merupakan hasil dari empat kali amandemen (1999-2002). Amandemen ini bertujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem ketatanegaraan sebelumnya dan mewujudkan sistem yang lebih demokratis dan seimbang. Perubahan ini menciptakan sistem ketatanegaraan yang baru, dengan pembagian kekuasaan yang lebih seimbang antara lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, dan DPD. Periode pasca amandemen menandai babak baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan penyesuaian terhadap perkembangan demokrasi dan tuntutan masyarakat. Perubahan ini berdampak besar pada sistem legislasi dan hubungan antar lembaga negara.

IV.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis dengan menganalisis UUD 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dan kepustakaan. Analisis data bersifat deskriptif kualitatif, menguji permasalahan dengan norma dan kaidah hukum yang berlaku. Penelitian ini juga mengacu pada teori-teori hukum, termasuk teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan teori struktur dan fungsi parlemen untuk menganalisis kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

1. Pendekatan Yuridis

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis, yang menekankan pada analisis hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan ini digunakan untuk menelaah dan mengkritisi kedudukan dan kewenangan MPR, serta sinergitasnya dengan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sumber hukum utama yang digunakan meliputi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Analisis yuridis ini bertujuan untuk memberikan solusi dan pemahaman yang komprehensif terkait masalah yang dibahas, yaitu kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan sinergitasnya dengan lembaga legislatif lain. Dengan pendekatan ini, penelitian berusaha untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi kesimpulan yang dihasilkan.

2. Pendekatan Konseptual

Selain pendekatan yuridis, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual. Pendekatan ini melibatkan perujukan pada prinsip-prinsip hukum yang relevan, baik yang ditemukan dalam pandangan para sarjana hukum (doktrin hukum) maupun yang tersirat dalam undang-undang. Pendekatan konseptual ini berfungsi untuk memperkaya analisis yuridis dengan memberikan perspektif teoritis yang lebih luas dan mendalam. Dengan menggabungkan pendekatan yuridis dan konseptual, penelitian ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan berimbang tentang kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Prinsip-prinsip hukum seperti pemisahan kekuasaan dan checks and balances akan dikaji dalam konteks ini.

3. Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi dan Kepustakaan

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui dua teknik, yaitu dokumentasi dan kepustakaan. Teknik dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data tertulis, tercetak, atau terekam dari berbagai sumber, termasuk internet dan majalah, yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Teknik kepustakaan dilakukan dengan mencari teori-teori hukum melalui buku, jurnal, dan karya ilmiah lainnya. Kedua teknik ini saling melengkapi untuk memperoleh data dan informasi yang komprehensif dan akurat. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan dan menginterpretasikan data berdasarkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang relevan. Hasil analisis ini kemudian digunakan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

4. Analisis Data Deskriptif Kualitatif

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih karena penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang diteliti tanpa didasarkan pada bilangan statistik. Analisis difokuskan pada pengujian permasalahan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan. Dengan demikian, analisis kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk menafsirkan data secara mendalam dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, dan DPD serta hubungan antar lembaga tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hasil analisis disajikan secara deskriptif untuk mempermudah pemahaman pembaca.