Perjuangan Hak Penyandang Cacat dalam Masyarakat

Perjuangan Hak Penyandang Cacat dalam Masyarakat

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 304.32 KB
Jenis dokumen Tugas Akhir/Skripsi/Tesis
  • Hak Asasi Manusia
  • Penyandang Cacat
  • Diskriminasi Sosial

Ringkasan

I.Hak Asasi Manusia dan Difabel di Indonesia

Dokumen ini membahas isu penting mengenai hak asasi manusia (HAM) bagi kaum difabel di Indonesia. Disebutkan bahwa meskipun setiap manusia memiliki HAM yang sama, tanpa memandang agama, suku, ras, jenis kelamin, atau kondisi fisik, kaum difabel seringkali mengalami diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan aksesibilitas fasilitas publik. Data WHO menunjukkan 15% penduduk dunia adalah difabel, jumlah yang signifikan dan membutuhkan perhatian serius. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada tahun 2011, yang diadopsi menjadi UU No. 19 Tahun 2011. Namun, implementasi undang-undang ini dan upaya penyetaraan HAM difabel masih menghadapi banyak tantangan.

1. Kesetaraan Hak Asasi Manusia bagi Difabel

Dokumen mengawali dengan penegasan bahwa setiap manusia, termasuk kaum difabel, memiliki hak asasi yang sama. Hak-hak ini melekat tanpa memandang perbedaan agama, suku, bangsa, ras, jenis kelamin, warna kulit, dan bentuk fisik. Hak asasi manusia bertujuan menjamin martabat setiap individu. Namun, realitanya, kaum difabel seringkali menghadapi diskriminasi dan pengabaian hak-hak dasar mereka, baik di tingkat nasional maupun internasional. Meskipun memiliki kebutuhan yang sama untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, kaum difabel seringkali diabaikan, padahal mereka berhak atas perlakuan yang sama dengan manusia lainnya. Perbedaan kemampuan bukan berarti perbedaan hak. Data dari WHO menyebutkan bahwa 15% populasi dunia adalah difabel, menunjukkan besarnya jumlah individu yang membutuhkan perlindungan dan penyetaraan hak.

2. Diskriminasi dan Tantangan Difabel di Negara Berkembang

Dokumen menyoroti terbatasnya perhatian dan penanganan terhadap difabel di negara berkembang, termasuk Indonesia. Akses terhadap pendidikan khusus (SLB) masih terbatas dan mahal, sedangkan sarana pelatihan kerja dan kesempatan kerja sangat minim. Fasilitas umum yang ramah difabel juga masih jauh dari sempurna. Permasalahan ini telah menjadi perhatian internasional, dan masyarakat berupaya memperjuangkan hak-hak yang seharusnya diterima oleh kaum difabel. Kurangnya perhatian dan dukungan ini menyebabkan difabel sering menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi ini diperparah dengan kurangnya komitmen masyarakat dalam menerapkan peraturan yang sudah ada, sehingga hak-hak dasar kaum difabel sulit dipenuhi.

3. Konvensi Hak Hak Penyandang Disabilitas CRPD dan Implementasinya di Indonesia

Pada tahun 2006, PBB melalui UNICEF dan WHO menyelenggarakan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Konvensi internasional ini bertujuan melindungi dan memenuhi hak-hak dasar kaum difabel, dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada sidang ke-61. Indonesia meratifikasi CRPD pada 30 November 2011, dan mengadopsi prinsip-prinsipnya ke dalam UU No. 19 Tahun 2011. CRPD menyatakan bahwa setiap orang dengan disabilitas berhak menikmati seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Meskipun demikian, implementasi CRPD di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, menunjukkan adanya kesenjangan antara komitmen dan realita di lapangan. Upaya untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar kaum difabel melalui CRPD diharapkan dapat mendorong perubahan paradigma dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

4. Peran Masyarakat dan Organisasi dalam Memperjuangkan Hak Difabel

Peran masyarakat, organisasi, dan lembaga yang menangani kaum difabel sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak dasar mereka. Tanpa dukungan dan advokasi dari berbagai pihak, kaum difabel akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menyuarakan aspirasinya. Selain peran masyarakat dan organisasi domestik, masyarakat internasional juga berperan penting dalam memperjuangkan hak-hak dasar kaum difabel. Partisipasi aktif berbagai pihak sangat krusial untuk memastikan bahwa kaum difabel mendapatkan akses yang setara pada berbagai layanan dan kesempatan, serta terbebas dari diskriminasi dan stigma. Dukungan dari komunitas internasional diharapkan dapat memperkuat upaya di dalam negeri untuk mencapai tujuan tersebut.

II.Tantangan Difabel dalam Memperoleh Pekerjaan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi kaum difabel adalah akses terhadap pekerjaan yang layak. Masyarakat seringkali menilai kinerja difabel berdasarkan kuantitas, mengabaikan kualitas hasil kerja mereka. Minimnya fasilitas umum dan kesempatan kerja, serta kurangnya peraturan yang berperspektif difabel, semakin memperburuk situasi. UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PP No. 43 tahun 1998 tentang peningkatan kesejahteraan penyandang cacat telah menetapkan kuota pekerja difabel bagi perusahaan tertentu, namun penegakannya masih lemah. Studi oleh mahasiswa UI menunjukkan bahwa permasalahan disabilitas di Indonesia telah bergeser dari fokus kesehatan menjadi kesejahteraan sosial, dengan Kementerian Sosial RI sebagai focal point penanganannya.

1. Pandangan Masyarakat dan Kesulitan Difabel Mendapatkan Pekerjaan

Dokumen menjelaskan bahwa banyak masyarakat menilai kinerja penyandang disabilitas berdasarkan kuantitas, bukan kualitas. Hal ini memperkuat stigma kecacatan dan mempersulit mereka mendapatkan pekerjaan layak. Meskipun banyak hasil karya difabel yang mengagumkan, persepsi negatif masyarakat menjadi penghalang utama. Mereka seringkali merasa bahwa keterbatasan fisik atau mental membuat mereka berbeda dalam cara berproduksi, sehingga sulit bersaing di pasar kerja. Kondisi ini menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat sangat memengaruhi peluang kerja bagi difabel, dan menciptakan siklus diskriminasi yang berkelanjutan. Mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang menjamin kelangsungan hidup mereka, hal yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara.

2. Diskriminasi Struktural dan Minimnya Peraturan yang Berperspektif Difabel

Nuning Suraytiningsih dari CIQAL (Center of Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) Yogyakarta, mengungkapkan bahwa kaum difabel masih mengalami diskriminasi dari pemerintah, ditandai dengan minimnya fasilitas umum dan kesempatan kerja. Ia berpendapat bahwa penyebab utama adalah minimnya peraturan yang berperspektif difabel. Undang-undang dan peraturan yang ada seringkali tidak mengakomodasi kebutuhan khusus difabel, sehingga mereka seakan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Padahal, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kesimpulannya, diskriminasi terhadap difabel di Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga merupakan masalah struktural yang bersumber dari kurangnya regulasi yang inklusif dan berperspektif terhadap kebutuhan kaum difabel.

3. Regulasi yang Ada dan Kelemahan Implementasinya

Meskipun terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas, seperti UU No. 4 tahun 1997 dan PP No. 43 tahun 1998 (yang mewajibkan perusahaan dengan karyawan lebih dari 200 orang untuk mempekerjakan minimal satu difabel), implementasinya masih lemah. Penegakan hukum dan sosialisasi peraturan tersebut juga belum maksimal, sehingga manfaatnya tidak banyak dirasakan oleh masyarakat dan kelompok rentan, termasuk difabel. Peraturan yang ada seringkali tidak responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM difabel. Hal ini disebabkan oleh kurangnya riset yang mendalam sebelum disusunnya rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Ketidaksesuaian antara regulasi dan implementasi di lapangan menjadi tantangan besar dalam upaya mewujudkan kesetaraan kesempatan kerja bagi kaum difabel.

4. Perubahan Perspektif Disabilitas dan Peran Kementerian Sosial

Sebuah analisis oleh mahasiswa Universitas Indonesia mencatat perubahan perspektif terhadap permasalahan disabilitas di Indonesia. Awalnya, permasalahan disabilitas ditangani sebagai isu kesehatan, namun kini telah bergeser menjadi isu kesejahteraan sosial. Sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Menteri Sosial No. 82/HUK/2005, Kementerian Sosial RI menjadi focal point dalam penanganan masalah disabilitas. Fokus utamanya adalah pada pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan agar difabel mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Kementerian Sosial juga diberi mandat oleh UU No. 4 Tahun 1997 untuk memberikan bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas. Namun, efektivitas program-program ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut untuk memastikan kebermanfaatannya bagi kaum difabel.

III.Peran Organisasi Internasional dan CRPD dalam Perlindungan Difabel

Dokumen ini menekankan peran penting organisasi internasional, khususnya PBB melalui CRPD, dalam memperjuangkan hak-hak difabel. CRPD mengajak perubahan paradigma, dari memandang difabel sebagai obyek amal menjadi subyek hak yang mampu memperjuangkan dirinya sendiri. Meskipun Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi CRPD, implementasinya masih jauh dari sempurna. Harmonisasi antara aturan hukum dan implementasi di tingkat masyarakat dan pemerintah daerah juga masih menjadi kendala utama dalam upaya pencapaian kesetaraan dan perlindungan bagi kaum difabel di Indonesia.

1. CRPD Landasan Internasional untuk Perlindungan Difabel

Dokumen menjelaskan peran penting Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) sebagai landasan internasional dalam melindungi dan memenuhi hak-hak kaum difabel. Diinisiasi oleh PBB melalui UNICEF dan WHO pada tahun 2006, CRPD disahkan oleh Majelis Umum PBB dan bertujuan untuk melindungi serta memenuhi hak-hak dasar kaum difabel. Indonesia meratifikasi CRPD pada 30 November 2011 dan mengadopsi prinsip-prinsipnya ke dalam UU No. 19 Tahun 2011. CRPD menekankan pentingnya perubahan paradigma, dari memandang difabel sebagai objek yang membutuhkan belas kasihan atau pengobatan, menjadi subyek hukum yang memiliki hak dan wewenang penuh untuk menentukan kehidupannya sendiri. Konvensi ini mengakui bahwa setiap orang dengan segala jenis disabilitas harus dapat menikmati seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Namun, tantangan besar terletak pada implementasi konvensi ini di lapangan.

2. Implementasi CRPD di Indonesia dan Tantangannya

Dokumen membahas implementasi CRPD di Indonesia pasca-ratifikasi. Meskipun Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi CRPD, penerapannya dalam kehidupan nyata masih jauh dari ideal. Terdapat beberapa undang-undang dan peraturan di Indonesia yang terkait dengan penyandang disabilitas, seperti UU No. 4 Tahun 1997 dan UU No. 39 Tahun 1999, namun penerapannya dalam pemenuhan hak-hak difabel masih belum optimal. Dokumen juga menyoroti bahwa Indonesia termasuk negara yang baru menandatangani dan belum sepenuhnya meratifikasi prinsip-prinsip CRPD. Ketidakharmonisan antara aturan hukum dan implementasi di tingkat masyarakat dan pemangku kebijakan di tingkat lokal menjadi salah satu kendala besar. Perlu upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip CRPD benar-benar diimplementasikan secara efektif dan menyeluruh.

3. Perubahan Paradigma dan Peran Organisasi Internasional

CRPD mendorong perubahan paradigma dalam memandang disabilitas. Konsep bahwa orang dengan disabilitas adalah obyek amal, pengobatan, dan perlindungan sosial harus berubah menjadi pandangan bahwa orang dengan disabilitas adalah subyek penyandang hak yang mampu memperjuangkan hak-haknya. Organisasi internasional memiliki peran penting dalam mendorong perubahan ini dan memberikan dukungan teknis dan pendanaan kepada negara-negara untuk meningkatkan perlindungan bagi kaum difabel. Partisipasi difabel dalam pembangunan dan menikmati hasil pembangunan, aksesibilitas, rehabilitasi, kesejahteraan sosial, serta pengembangan bakat dan kehidupan sosial secara setara menjadi target utama. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur perlindungan khusus anak dengan disabilitas, namun pelaksanaannya masih memerlukan peningkatan.

IV.Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulannya, perlindungan dan pemajuan HAM difabel di Indonesia masih membutuhkan upaya lebih lanjut. Meskipun terdapat berbagai peraturan perundang-undangan, penegakan hukum dan sosialisasi masih lemah. Pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat, penegakan hukum yang efektif, serta komitmen pemerintah dalam implementasi CRPD menjadi kunci dalam mengatasi diskriminasi dan memastikan kesetaraan bagi kaum difabel di Indonesia. Perhatian khusus perlu diberikan pada aksesibilitas, rehabilitasi, kesejahteraan sosial, dan pengembangan bakat serta kehidupan sosial difabel secara setara.

1. Kesimpulan Umum Terkait Pemenuhan HAM Difabel di Indonesia

Kesimpulan utama dokumen ini adalah bahwa meskipun terdapat berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan HAM difabel, pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap anak, perempuan rentan, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Kelemahan utama terletak pada penegakan hukum dan implementasi perangkat hukum yang ada. Sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan juga belum dilakukan secara menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat. Kelemahan penegakan hukum disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal ini disebabkan kurangnya penelitian yang seksama sebelum disusunnya suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Secara keseluruhan, diperlukan upaya yang lebih besar untuk menjembatani kesenjangan antara peraturan dan implementasi di lapangan.

2. Rekomendasi untuk Meningkatkan Perlindungan Difabel di Indonesia

Dokumen menyimpulkan bahwa pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, belum optimal. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penegakan hukum dan implementasi perangkat hukum yang belum maksimal, serta sosialisasi yang belum merata. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada terkadang kurang responsif dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM. Oleh karena itu, diperlukan tindakan nyata berupa penegakan hukum yang efektif untuk melindungi hak dan kepentingan kelompok rentan. Peningkatan sosialisasi kepada masyarakat sangat penting, agar masyarakat memahami dan menjalankan peraturan yang sudah ada. Lebih lanjut, diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memastikan bahwa peraturan perundang-undangan benar-benar responsif terhadap kebutuhan kaum difabel dan kelompok rentan lainnya.