
Perbandingan Proses Reformasi Ekonomi antara Vietnam dan China
Informasi dokumen
Jurusan | Ilmu Politik/Ekonomi Pembangunan |
Jenis dokumen | Esai/Tugas Akhir |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 462.37 KB |
- Reformasi Ekonomi
- Vietnam
- China
Ringkasan
I.Pertumbuhan Ekonomi dan Rezim Otoriter Studi Perbandingan Vietnam dan China
Skripsi ini membandingkan proses demokrasi di Vietnam dan China, dua negara otoriter yang dipimpin oleh rezim komunis. Keduanya mengalami pertumbuhan ekonomi pesat pasca reformasi ekonomi: Doi Moi di Vietnam (1987) dan reformasi ekonomi di China (1978). Meskipun pertumbuhan ekonomi China lebih tinggi, Vietnam menunjukkan perkembangan demokrasi yang relatif lebih positif. Studi ini meneliti bagaimana pertumbuhan ekonomi (diukur melalui GDP) dan kebijakan reformasi ekonomi (seperti desentralisasi ekonomi dan adopsi model kebijakan luar negeri) mempengaruhi legitimasi rezim dan potensi transisi menuju demokrasi. Perbedaan strategi reformasi – Vietnam dengan pendekatan big bang dan China dengan pendekatan bertahap – juga dianalisis. Penelitian ini menggunakan indikator demokrasi non-institusional, menekankan pada distribusi pendapatan dan legitimasi partai komunis, untuk membandingkan tingkat demokrasi di kedua negara.
1. Vietnam dan China Negara Authoritarian dengan Pertumbuhan Ekonomi yang Pesat
Secara internasional, Vietnam dan China dikenal sebagai negara-negara otoriter yang dipimpin oleh rezim komunis. Keduanya mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan setelah melakukan reformasi ekonomi. Vietnam memulai reformasi Doi Moi pada tahun 1987, sementara China lebih awal pada tahun 1978. Meskipun pertumbuhan ekonomi Vietnam tidak setinggi China, keduanya mencatatkan peningkatan yang konsisten. Data GDP tahun 2009 menunjukkan pertumbuhan 6.3% untuk Vietnam dan 8.7% untuk China (sumber: http://www.indexmundi.com/vietnam/gdp_real_growth_rate.html, diakses 10 Oktober 2010). Munculnya kedua negara sebagai negara komunis dengan perekonomian maju menjadi fokus utama studi ini. Perbedaan terlihat pada strategi dan teknis kebijakan ekonomi, dengan Vietnam menunjukkan arah kebijakan yang lebih demokratis dibandingkan China. Proses reformasi di Vietnam relatif lebih cepat, bisa digambarkan sebagai 'Big Bang' berbanding pendekatan 'Gradual' di China. Pemerintah Vietnam lebih responsif terhadap kondisi ekonomi dan langsung mengaplikasikan Doi Moi setelah beberapa bulan perencanaan pada tahun 1987. Sebaliknya, reformasi di China dilakukan bertahap, dimulai tahun 1978 dan baru disahkan sebagai kebijakan negara pada 1980 di bawah Deng Xiaoping. Doi Moi diinisasi oleh elit politik VCP, sementara reformasi China dimulai dari inisiatif kelompok petani di desa Xiaogang, Anhui (sumber: Fishman, Ted. C, China.Inc, 2006, hal: 43).
2. Kebijakan Doi Moi dan Faktor Faktor yang Mempengaruhinya
Kebijakan Doi Moi di Vietnam merupakan hasil pertimbangan domestik dan perbandingan dengan negara lain. Pertimbangan domestik didasarkan pada evaluasi elit politik terhadap kebijakan luar negeri sebelumnya yang dinilai tidak efektif dalam meningkatkan ekonomi domestik. Faktor lain adalah perbandingan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang lebih makmur, membuat Vietnam merasa tertinggal. Reformasi ekonomi China tahun 1978 menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, namun berbeda dengan Vietnam dalam proses dan strategi. Awalnya fokus pada pedesaan, strategi China bergeser ke pembangunan perkotaan pada 1984, menciptakan zona ekonomi eksklusif dengan investasi asing dan teknologi. Ini menyebabkan disparitas ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Walaupun elit partai tidak mengubah ideologi komunis, realitas domestik memaksa mereka mengambil langkah pragmatis dengan mengadopsi sistem kapitalisme untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan output masyarakat. Doi Moi berhasil menunjukkan pertumbuhan ekonomi signifikan dan distribusi pendapatan yang lebih merata dibandingkan China. Pandangan internasional pesimis terhadap kemungkinan kedua negara menuju demokrasi, bahkan dianggap tidak mungkin. Para ilmuwan politik kesulitan mengkonseptualisasikan rezim yang mengadopsi atribut demokrasi namun tetap non-demokratis dalam penerapannya. Tantangan utama dalam kajian demokrasi di rezim komunis adalah posisi dan peran partai dalam pemerintahan, terutama terkait legitimasi.
3. Legitimasi Politik dalam Rezim Authoritarian Studi Kasus Vietnam dan China
Legitimasi politik dalam konteks otoritarianisme merupakan isu krusial. Legitimasi rezim ditentukan persetujuan populer, biasanya diekspresikan melalui pemilihan umum bebas dan adil. Namun, Vietnam dan China, sebagai negara otoriter, tidak menerapkan pemilihan umum seperti model demokrasi Barat (sumber: Stephen Garvey, The Failure of Western Democracy, http://www.inexpressible.com/failureWD.asp, diakses 20 Juli 2010). Meskipun demikian, keduanya tidak menghadapi masalah legitimasi karena sumber legitimasi mereka didapat dari kinerja (performance-based) pemerintahan. Keberhasilan dalam menyediakan kebutuhan masyarakat, seperti pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, secara otomatis menghasilkan legitimasi. Dua konsep besar legitimasi, yakni legitimasi berdasarkan kinerja dan ideologi, akan dikaji lebih lanjut. Dalam konteks Vietnam dan China, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memperkuat legitimasi rezim otoriter. Secara teoritis, ini dapat menjauhkan kedua negara dari demokratisasi, tetapi analisis lebih lanjut akan mengeksplorasi kemungkinan adanya proses demokratisasi sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi, yang menciptakan efek meluap (spillover) ke arah demokrasi. Distribusi pendapatan dan legitimasi politik menjadi tolak ukur untuk melihat keberhasilan konsolidasi demokrasi di kedua negara.
II.Strategi Reformasi Ekonomi Vietnam dan China
Skripsi ini membandingkan strategi reformasi ekonomi Vietnam dan China. Doi Moi di Vietnam diinisiasi secara relatif cepat oleh Partai Komunis Vietnam (VCP), sedangkan reformasi ekonomi di China dijalankan secara bertahap dan dimulai dari inisiatif di tingkat desa, dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Meskipun tujuannya sama yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, proses dan dampaknya berbeda. Vietnam menunjukkan respon yang lebih cepat terhadap kondisi ekonomi, sementara China lebih hati-hati dan fokus pada pembangunan di daerah perkotaan tertentu, yang menciptakan disparitas ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Perbedaan ini akan dikaji lebih lanjut dalam kaitannya dengan implikasi terhadap perkembangan demokrasi.
1. Perbandingan Strategi Reformasi Doi Moi di Vietnam vs. Reformasi Ekonomi di China
Dokumen ini membandingkan strategi reformasi ekonomi Vietnam dan China. Vietnam, dengan kebijakan Doi Moi yang dimulai pada tahun 1987, menerapkan pendekatan yang relatif cepat atau 'Big Bang'. Kebijakan ini diinisiasi oleh elit politik, khususnya Partai Komunis Vietnam (VCP). Sebaliknya, reformasi ekonomi di China, yang dimulai pada tahun 1978, berjalan secara bertahap atau 'Gradual'. Prosesnya lebih hati-hati dan dimulai dari inisiatif di tingkat desa, seperti yang terlihat pada kisah 18 petani di desa Xiaogang, Provinsi Anhui, yang menandatangani perjanjian tanggung jawab rumah tangga pada Desember 1978 (sumber: Fishman, Ted. C, China.Inc, 2006, hal: 43). Pemerintah Vietnam menunjukkan responsivitas yang lebih tinggi terhadap kondisi ekonomi, mengaplikasikan Doi Moi beberapa bulan setelah perencanaan. Sementara itu, reformasi di China baru disahkan sebagai kebijakan negara dua tahun kemudian, pada tahun 1980, di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Meskipun berbeda pendekatan, kedua negara sama-sama bertujuan meliberalisasi perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perbedaan ini, bagaimanapun, berdampak pada hasil dan konsekuensi ekonomi dan politik jangka panjang yang akan dibahas lebih lanjut.
2. Analisis Mendalam Strategi Doi Moi Vietnam
Kebijakan Doi Moi di Vietnam muncul dari pertimbangan domestik dan perbandingan internasional. Pertimbangan domestik didasarkan pada evaluasi elit politik terhadap inefektivitas kebijakan luar negeri sebelumnya dalam meningkatkan ekonomi domestik. Mereka menyadari perlunya strategi yang lebih efektif untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertimbangan kedua adalah perbandingan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang lebih makmur secara ekonomi. Vietnam merasakan ketertinggalan ekonomi ini dan mendorong perlunya perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi. Doi Moi, sebagai agenda perbaikan ekonomi, berhasil mencapai tujuannya dengan menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan distribusi pendapatan yang merata jika dibandingkan dengan China. Hal ini menunjukkan keberhasilan strategi 'Big Bang' yang diadopsi oleh Vietnam dalam melakukan reformasi ekonomi. Namun, perlu dikaji lebih lanjut apakah kecepatan reformasi ini juga berkontribusi pada dinamika politik dan perkembangan demokrasi di Vietnam.
3. Analisis Strategi Reformasi Ekonomi China
Reformasi ekonomi China tahun 1978 menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, strategi pembangunan ekonomi mengalami perubahan bertahap pada tahun 1984. Awalnya fokus pada pengembangan daerah pedesaan, strategi kemudian bergeser ke ekonomi pasar (market-oriented) yang berpusat pada area perkotaan spesifik. Pendekatan ini menciptakan zona ekonomi eksklusif yang menarik modal asing dan teknologi. Strategi pembangunan ekonomi yang terbatas ini, walaupun berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi, juga menciptakan disparitas ekonomi yang tinggi antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Kesempatan ekonomi bagi masyarakat pedesaan menjadi terbatas. Meskipun elit partai tidak dapat mengubah ideologi komunis secara fundamental, tekanan internal mendorong mereka untuk mengambil langkah pragmatis, yaitu mengadopsi elemen-elemen kapitalisme untuk meningkatkan inovasi dan produktivitas. Perubahan strategi ini dari fokus pedesaan ke perkotaan, dan penerapan kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi pasar, akan dikaji lebih lanjut untuk menganalisis pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi dan implikasi politiknya, terutama dalam konteks demokrasi.
III.Legitimasi Rezim dan Pertumbuhan Ekonomi
Skripsi ini membahas peran pertumbuhan ekonomi dalam menjaga legitimasi rezim otoriter di Vietnam dan China. Studi ini berargumen bahwa keberhasilan kebijakan ekonomi ( performance-based legitimacy) memberikan legitimasi pada rezim, meskipun tanpa adanya pemilihan umum yang bebas dan adil. Namun, penelitian ini juga menyelidiki kemungkinan efek spillover dari pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada peningkatan demokrasi. Di sini, dibandingkan dengan China, Vietnam menunjukkan tanda-tanda perkembangan demokrasi yang lebih positif, diukur dari distribusi pendapatan dan legitimasi rezim. Konsep legitimasi berdasarkan kinerja dan ideologi juga dikaji secara mendalam. Penelitian ini menggunakan karya Elias Papaioannou dan Gregorios Siourounis tentang gelombang ketiga demokrasi, dan karya Doh Chull Shin tentang prospek demokrasi di Asia Timur untuk memperkuat analisa.
1. Legitimasi Berbasis Kinerja dalam Rezim Otoriter
Bagian ini membahas legitimasi politik dalam rezim otoriter, khususnya di Vietnam dan China. Berbeda dengan demokrasi Barat yang menekankan pemilihan umum bebas dan adil sebagai indikator legitimasi, rezim otoriter cenderung memperoleh legitimasi dari kinerja (performance-based). Artinya, keberhasilan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan masyarakat, seperti pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, akan secara otomatis meningkatkan legitimasi dan pengakuan terhadap kekuasaan. Rezim yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat akan lebih mudah mendapatkan legitimasi politik, terlepas dari model atau cara pemerintahannya. Dokumen ini menjelaskan bahwa legitimasi merupakan pengakuan atas hak memerintah suatu rezim. Untuk memahami bagaimana rezim otoriter memperoleh legitimasi, dibahas dua konsep besar: legitimasi berdasarkan kinerja dan legitimasi berdasarkan ideologi. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Vietnam dan China, yang dihasilkan dari kebijakan Doi Moi dan reformasi ekonomi, secara teoritis memperkuat legitimasi rezim otoriter. Namun, penulis selanjutnya akan menganalisis lebih dalam untuk melihat kemungkinan adanya proses demokratisasi sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi.
2. Pertumbuhan Ekonomi dan Potensi Demokratisasi Analisis Kasus Vietnam dan China
Bagian ini menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan potensi demokratisasi di Vietnam dan China. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara teoritis dapat menjauhkan kedua negara dari demokratisasi dengan memperkuat legitimasi rezim otoriter, penelitian ini berhipotesis bahwa pertumbuhan ekonomi justru menciptakan efek meluap (spillover) yang mengarah pada demokratisasi. Proses demokratisasi ini, dalam konteks penelitian ini, diposisikan sebagai dampak dari dinamika domestik, khususnya reformasi ekonomi, bukan tuntutan eksternal dari masyarakat. Perbandingan Vietnam dan China menunjukkan bahwa Vietnam relatif lebih demokratis dibandingkan China, dilihat dari indikator ekonomi dan politik, seperti distribusi pendapatan dan legitimasi politik. Penelitian ini menggunakan temuan dari Elias Papaioannou dan Gregorios Siourounis (Economic and social factors Driving the Third Wave of Democratization, 2008) untuk memperkuat analisisnya. Papaioannou dan Siourounis mengidentifikasi transisi demokratisasi selama gelombang ketiga, yang menunjukkan perubahan pada negara-negara sosialis menuju sistem representatif. Mereka menggunakan indikator kebebasan politik dan catatan pemilihan dari 174 negara untuk mengidentifikasi negara-negara yang mengalami transisi demokrasi.
3. Pandangan Alternatif tentang Demokratisasi di Asia Timur
Penulis juga merujuk pada artikel Doh Chull Shin, "Third Wave in East Asia", yang menyoroti prospek suram transisi demokrasi di Asia karena masyarakat dan pemimpin politik terjebak dalam keseimbangan antara tuntutan demokrasi dan status quo. Shin berpendapat bahwa kawasan Asia masih resisten terhadap gelombang demokratisasi karena kurangnya organisasi regional yang memprioritaskan demokrasi dan hak asasi manusia. Studi ini memandang fenomena di Vietnam dan China sebagai anomali, karena tidak dapat dijelaskan sepenuhnya menggunakan model demokrasi Barat yang berfokus pada pemilihan umum bebas dan adil. Penulis berpendapat bahwa peradaban Konfusianisme juga berkontribusi pada resistensi terhadap demokratisasi di Asia Timur. Penelitian ini berusaha untuk mengisi kesenjangan ini dengan menggunakan indikator demokrasi non-institusional yang menekankan faktor-faktor non-institusional, seperti kesetaraan distribusi pendapatan dan legitimasi berdasarkan kinerja pemerintah. Studi ini mengkaji bagaimana pertumbuhan ekonomi, meskipun memperkuat legitimasi rezim otoriter, dapat secara tidak langsung berkontribusi pada proses demokratisasi melalui efek meluap yang mendorong perubahan menuju sistem yang lebih demokratis.
IV.Indikator Demokrasi Non Insitusional dan Perbandingan Vietnam China
Skripsi ini menggunakan indikator demokrasi non-institusional, khususnya yang berkaitan dengan konsep demokrasi John Dewey, untuk menganalisis perkembangan demokrasi di Vietnam dan China. Indikator ini berfokus pada aspek non-institusional seperti kesetaraan distribusi pendapatan, partisipasi masyarakat, dan legitimasi pemerintah. Penelitian ini berargumen bahwa model-model demokrasi Barat yang menekankan pada pemilihan umum bebas dan adil kurang relevan untuk memahami fenomena anomali di negara-negara otoriter seperti Vietnam dan China yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Analisis perbandingan ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada perkembangan demokrasi yang relatif lebih baik di Vietnam dibandingkan dengan China.
1. Keterbatasan Indikator Demokrasi Barat dalam Mengkaji Vietnam dan China
Bagian ini membahas keterbatasan menggunakan indikator demokrasi Barat, yang umumnya berfokus pada pemilihan umum bebas dan adil, multipartai, dan kompetisi politik, untuk menganalisis perkembangan demokrasi di Vietnam dan China. Model-model ini dinilai kurang relevan untuk memahami fenomena anomali di negara-negara otoriter yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa adanya perubahan signifikan dalam struktur politik. Kriteria demokrasi minimalis Robert Dahl, yang menekankan kompetisi dan partisipasi, dianggap terlalu sederhana dan tidak mampu mengakomodasi aspek-aspek esensial lainnya seperti aturan hukum dan budaya politik. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan indikator demokrasi non-institusional untuk memberikan analisis yang lebih akurat. Indikator demokrasi Barat, seperti yang diidentifikasi oleh Stephen Garvey dalam artikelnya "The Failure of Western Democracy" (http://www.inexpressible.com/failureWD.asp, diakses 20 Juli 2010), menekankan pemilihan bebas, adil, multipartai, dan kompetitif. Model ini dianggap kurang tepat untuk menganalisis kasus Vietnam dan China yang memiliki karakteristik unik dan berbeda dari negara-negara Barat yang sudah demokratis. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan alternatif yang lebih komprehensif dan sensitif terhadap konteks spesifik negara-negara tersebut.
2. Indikator Demokrasi Non Insitusional Mengadopsi Perspektif John Dewey
Untuk mengatasi keterbatasan indikator demokrasi Barat, penelitian ini mengadopsi konsep demokrasi John Dewey yang menekankan faktor-faktor non-institusional. Pemilihan umum yang bebas dan adil, meskipun penting, bukanlah prasyarat mutlak untuk mengukur demokrasi, terutama di negara-negara otoriter seperti Vietnam dan China. Indikator demokrasi non-institusional yang digunakan dalam penelitian ini akan lebih fokus pada aspek-aspek seperti kesetaraan distribusi pendapatan dan legitimasi pemerintah yang didasarkan pada kinerja (performance-based legitimacy). Pandangan para akademisi dalam simposium American Economic Association (AEA) tahun 1993 menyatakan adanya keterkaitan erat antara demokrasi dan pembangunan ekonomi, dengan pembangunan ekonomi diukur melalui kinerja ekonomi. Amartya Sen juga berpendapat bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan barometer proses demokrasi. Dua asumsi utama terkait hubungan pembangunan ekonomi dan demokrasi dibahas, yakni pembangunan ekonomi mengarah pada demokrasi (economic development does lead to democracy) dan pembangunan ekonomi tidak mengarah pada demokrasi (economic development does not lead to democracy). Penelitian Adam Przeworski tentang hubungan antara rezim politik dan pembangunan ekonomi (Democracy And Economic Development) juga menjadi rujukan dalam pembahasan ini.
3. Perbandingan Demokratisasi Vietnam dan China Berdasarkan Indikator Non Insitusional
Bagian ini membandingkan proses demokratisasi di Vietnam dan China menggunakan indikator demokrasi non-institusional. Meskipun keduanya merupakan negara otoriter dengan sistem komunis, Vietnam menunjukkan indikasi demokratisasi yang lebih positif dibandingkan China. Analisis perbandingan ini didasarkan pada studi kasus kedua negara, dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi dan politik. Distribusi pendapatan dan legitimasi politik menjadi tolak ukur utama dalam menilai sejauh mana konsolidasi demokrasi berhasil di kedua negara. Penelitian ini menggunakan temuan dari Papaioannou dan Siourounis (Journal of Comparative Economics 36, 2008) yang mengidentifikasi transisi demokratisasi selama gelombang ketiga, dan artikel Doh Chull Shin ("The Third Wave in East Asia") yang menekankan prospek suram transisi demokrasi di negara-negara Asia akibat hambatan budaya dan politik. Penulis berargumen bahwa transisi demokrasi di Vietnam berasal dari dinamika domestik, terutama reformasi ekonomi, bukan tuntutan eksternal dari masyarakat. Faktor budaya, seperti nilai-nilai Konfusianisme, juga dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap demokratisasi di Asia Timur.
V.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deduktif dan deskriptif analitis dengan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka (buku, jurnal, internet, dsb.). Ruang lingkup penelitian dibatasi pada periode pasca reformasi ekonomi, yaitu sejak tahun 1987 untuk Vietnam (Doi Moi) dan 1978 untuk China hingga tahun 2009. Reformasi ekonomi dijadikan sebagai variabel independen, sementara perkembangan demokrasi sebagai variabel dependen. Penelitian ini menganalisis dampak reformasi ekonomi terhadap perkembangan demokrasi di kedua negara, khususnya dalam konteks rezim otoriter.
1. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Sumber data meliputi buku, jurnal, surat kabar, dokumen resmi, dan internet. Proses pengumpulan data dimulai dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin, kemudian data diseleksi dan dikelompokkan ke dalam bab-bab pembahasan sesuai sistematika penulisan. Penelitian ini menggunakan data sekunder karena keterbatasan akses terhadap data primer. Data sekunder dipilih karena dianggap relevan dan cukup memadai untuk mendukung analisis perbandingan antara Vietnam dan China. Penulis melakukan studi literatur yang ekstensif untuk mengumpulkan data yang diperlukan, meliputi berbagai macam publikasi akademik dan sumber informasi lainnya. Proses seleksi data dilakukan dengan cermat untuk memastikan kualitas dan relevansi data yang digunakan dalam analisis. Pengelompokan data sesuai dengan sistematika penulisan memastikan bahwa analisis terstruktur dan mudah dipahami.
2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deduktif, yang menganalisis hal-hal umum menjadi khusus. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan fenomena yang ada dan memberikan dukungan terhadap teori yang digunakan. Teknik ini juga disebut sebagai teknik deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis data. Data yang dikumpulkan diolah secara sistematis untuk mengidentifikasi pola dan tren dalam perkembangan demokrasi di Vietnam dan China. Analisis deduktif memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan berdasarkan teori dan konsep yang telah ada, kemudian diuji dengan data yang dikumpulkan. Pendekatan deskriptif analitis memungkinkan penulis untuk menggambarkan secara detail perkembangan ekonomi dan politik di kedua negara. Dengan demikian, hasil penelitian dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang fenomena yang diteliti. Penulis menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang perkembangan demokrasi di kedua negara.
3. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada periode pasca inisiasi kebijakan Doi Moi di Vietnam (1987) dan reformasi ekonomi di China (1978) hingga tahun 2009. Tahun 1987 dan 1978 dipilih sebagai tahun awal penerapan kebijakan karena merupakan titik awal perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi kedua negara. Batas waktu 2009 digunakan karena sebagian besar data sekunder yang digunakan sebagai referensi merujuk pada tahun tersebut. Data resmi hasil penelitian tahun 2010 belum dipublikasikan saat penulisan skripsi ini. Pembatasan ruang lingkup penelitian ini dilakukan untuk memastikan fokus analisis dan kelancaran proses penelitian. Pembatasan waktu memungkinkan peneliti untuk menganalisis dinamika perkembangan demokrasi dalam periode waktu yang spesifik, sehingga analisis menjadi lebih terarah dan terfokus. Pembatasan ini juga didasarkan pada ketersediaan data sekunder yang relevan. Studi ini berfokus pada analisis perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang spesifik ini sebagai respon atas reformasi ekonomi di kedua negara.
Referensi dokumen
- The Real Reason for China’s Growth (Wing Thye Woo)