Penyempurnaan Sistem Perbankan Indonesia Pasca Krisis 1997-1998

Penyempurnaan Sistem Perbankan Indonesia Pasca Krisis 1997-1998

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 1.07 MB
Jurusan Ekonomi/Perbankan
Jenis dokumen Bagian dari Tesis atau Skripsi
  • Krisis Perbankan
  • Stabilitas Keuangan
  • Regulasi Perbankan

Ringkasan

I.Perkembangan dan Stabilitas Sistem Perbankan Nasional

Dokumen ini membahas perkembangan pesat sektor perbankan nasional, termasuk program penyehatan perbankan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Peristiwa seperti rekapitalisasi, merger, dan divestasi saham bank menjadi sorotan. Stabilitas sistem keuangan menjadi fokus utama, mengingat krisis 1997-1998. BI, sebagai bank sentral yang independen, memiliki peran krusial dalam menjaga kestabilan perbankan Indonesia, termasuk pengaturan peredaran uang rupiah dan pengawasan sistem pembayaran.

1. Pertumbuhan Pesat Sektor Perbankan Nasional

Bagian ini menjelaskan perkembangan yang sangat pesat di sektor perbankan nasional. Terdapat peningkatan aktivitas yang signifikan dalam sektor ini ditandai dengan berbagai program penyehatan perbankan yang dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Beberapa contoh yang disebutkan meliputi program rekapitalisasi bagi beberapa bank, merger antara sejumlah bank, dan divestasi saham oleh berbagai bank. Hal ini menunjukkan dinamika dan perubahan yang cukup besar di dalam industri perbankan Indonesia. Perkembangan ini perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami implikasi dan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Kecepatan perkembangan ini juga menunjukkan pentingnya adaptasi dan pengawasan yang ketat oleh otoritas terkait guna memastikan kesehatan dan stabilitas sistem perbankan nasional. Keberhasilan dalam menjaga stabilitas menjadi kunci agar perkembangan pesat ini tidak berujung pada krisis seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Dengan demikian, diperlukan regulasi yang kuat dan pengawasan yang efektif untuk mengelola risiko dan menjaga keseimbangan dalam pertumbuhan industri perbankan. Proses-proses seperti rekapitalisasi, merger, dan divestasi saham menunjukkan adanya upaya untuk memperkuat struktur dan daya tahan bank di Indonesia.

2. Independensi Bank Indonesia dan Peran dalam Pengaturan Peredaran Uang

Bank Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, dijelaskan sebagai bank sentral Republik Indonesia yang independen. Kemerdekaan ini menjamin Bank Indonesia bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain, kecuali hal-hal yang diatur tegas dalam undang-undang. Sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah, Bank Indonesia memegang peran kunci dalam perekonomian nasional. Independensi ini memastikan bahwa kebijakan moneter dan pengelolaan mata uang dilakukan secara objektif dan terbebas dari kepentingan politik. Selain itu, Bank Indonesia juga bertanggung jawab atas pengawasan sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman, menunjukkan komitmen untuk menciptakan lingkungan keuangan yang sehat dan terpercaya. Fungsi pengawasan ini juga mencakup penetapan peraturan dan perizinan bagi kegiatan usaha bank serta penerapan sanksi sesuai aturan perundang-undangan. Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi independen ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas mata uang dan stabilitas ekonomi makro.

3. Krisis 1997 1998 dan Upaya Peningkatan Stabilitas Sistem Keuangan

Krisis keuangan dan perbankan tahun 1997-1998 menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kerangka stabilitas sistem keuangan. Krisis ini menyoroti kerentanan sistem perbankan dan dampak buruk systemic risk atau kebangkrutan bank terhadap bank lain, yang dapat menghancurkan segmen besar sistem perbankan. Untuk mencegah terulangnya krisis serupa, penyempurnaan sistem perbankan menjadi prioritas utama. Upaya yang dilakukan meliputi pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia, pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Penyempurnaan juga mencakup aspek kelembagaan bank, kepemilikan bank, sumber daya manusia perbankan, produk perbankan, dan teknologi perbankan. Semua aspek ini dirangkum dalam perangkat hukum yang jelas dan tegas. Hal ini menunjukan komitmen pemerintah dan otoritas terkait untuk memperkuat fondasi sistem keuangan dan mencegah krisis serupa di masa depan. Pemantauan dan identifikasi dini terhadap potensi krisis juga menjadi bagian penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, karena langkah preventif lebih murah daripada penangan krisis yang sudah terjadi.

II.Peran Bank Indonesia BI dan Lender of the Last Resort LOLR

Bank Indonesia (BI) berperan sebagai Lender of the Last Resort (LOLR) untuk mencegah krisis finansial sistemik. BI memberikan kredit atau pembiayaan, termasuk berbasis syariah, kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Intervensi BI sebagai LOLR, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), semakin penting pasca krisis 1997-1998, karena hubungan erat antara krisis perbankan, keuangan, dan sektor riil.

1. Fungsi Utama Lender of the Last Resort LOLR

Bagian ini menjelaskan fungsi utama Lender of the Last Resort (LOLR) dalam mencegah krisis finansial sistemik. LOLR bertujuan untuk mencegah dampak buruk dari kebangkrutan satu bank terhadap bank lainnya, mencegah efek domino yang dapat menghancurkan seluruh sistem perbankan. Risiko likuiditas yang dihadapi bank, akibat penempatan dana dalam bentuk kredit jangka panjang dan penerimaan simpanan jangka pendek, dibahas sebagai pemicu potensial krisis. Penarikan dana besar-besaran (bank runs) dapat terjadi jika deposan menarik dana secara bersamaan, memperparah krisis likuiditas. Tanpa adanya bank sentral sebagai pemberi pinjaman terakhir (LOLR), bank runs di satu bank dapat menyebar ke bank lain (contagion), mengakibatkan kegagalan sistemik. Oleh karena itu, peran bank sentral sebagai penjaga stabilitas sistem keuangan sangatlah krusial, khususnya dalam situasi krisis.

2. Peran Bank Indonesia sebagai LOLR dan Mekanisme Pemberian Kredit

Bank Indonesia (BI) menjalankan fungsi Lender of the Last Resort (LOLR) dengan memberikan kredit atau pembiayaan, termasuk yang berbasis syariah, kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Kesulitan ini sering disebabkan oleh ketidaksesuaian (mismatch) dalam pengelolaan dana. Pinjaman tersebut memiliki jangka waktu maksimal 90 hari, dengan persyaratan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, dengan nilai minimal sama dengan jumlah pinjaman. Ini menunjukkan adanya mekanisme yang terkontrol dan terukur dalam memberikan bantuan likuiditas untuk mencegah krisis. Penerapan prinsip syariah dalam pembiayaan memperlihatkan adaptasi BI terhadap perkembangan sistem keuangan yang inklusif. Mekanisme ini memastikan bahwa bantuan diberikan secara bertanggung jawab dan terhindar dari penyalahgunaan. Ketersediaan agunan yang berkualitas tinggi menjadi kunci untuk meminimalisir risiko bagi BI dalam memberikan bantuan likuiditas. Dengan adanya mekanisme ini, BI berupaya menjaga stabilitas sistem perbankan sekaligus memastikan keberlangsungan usaha perbankan di Indonesia.

3. Pentingnya Peran LOLR Pasca Krisis 1997 1998 dan Intervensi Bank Sentral

Krisis keuangan tahun 1997-1998 telah meningkatkan pentingnya intervensi bank sentral secara langsung melalui kebijakan LOLR. Intervensi langsung ini menjadi semakin krusial dalam dekade terakhir. Hubungan erat antara krisis perbankan, krisis keuangan, dan krisis sektor riil menjadi alasan utama pentingnya peran LOLR. Krisis 1997-1998 juga menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Oleh karena itu, intervensi yang tepat dan terukur sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Dalam praktik di Indonesia, kebijakan LOLR dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intervensi ini telah memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan semakin kompleksnya interaksi antara sektor keuangan dan ekonomi riil, peran bank sentral sebagai penjaga stabilitas melalui mekanisme LOLR menjadi semakin penting untuk mencegah krisis sistemik yang dapat berdampak luas dan berkepanjangan. Keberhasilan dalam melakukan intervensi ini akan berdampak positif terhadap kepercayaan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

III.Lembaga Penjamin Simpanan LPS dan Perannya dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Berdiri berdasarkan Pasal 37B UU Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dibentuk untuk menjamin simpanan nasabah dan menjaga stabilitas sistem perbankan. LPS berperan dalam meminimalisir risiko sistemik dan penarikan dana besar-besaran (bank runs) dengan menjamin simpanan hingga jumlah tertentu. LPS juga menangani bank gagal, termasuk yang berdampak sistemik, seperti Bank Century (kini Bank Mutiara). Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sangat bergantung pada LPS dan kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan.

1. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan LPS dan Tujuannya

Didorong oleh krisis moneter 1998 dan likuidasi 16 bank yang mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai tindak lanjut dari Pasal 37B UU Perbankan. Tujuan utama LPS adalah menjamin simpanan nasabah bank dan secara aktif menjaga stabilitas sistem perbankan. Pembentukan LPS merupakan upaya untuk melindungi terhadap dua risiko utama: systemic risk dan penarikan dana besar-besaran (irrational run atau rush) oleh nasabah. Risiko systemic risk muncul dari potensi kegagalan satu bank yang berdampak pada bank lain, sedangkan irrational run menggambarkan penarikan dana secara massal yang dapat membuat bank kewalahan memenuhi kewajiban. Dengan adanya jaminan simpanan hingga batas tertentu, LPS bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan mencegah krisis sistemik yang dapat membebani anggaran negara. LPS tidak hanya berfokus pada jaminan simpanan, namun juga berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan di Indonesia.

2. Fungsi LPS Menjamin Simpanan dan Menangani Bank Gagal

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki dua fungsi utama. Pertama, menjamin simpanan nasabah bank hingga jumlah tertentu. Kedua, melakukan penyelesaian atau penanganan terhadap bank yang mengalami gagal sebagai bagian dari pemeliharaan stabilitas sistem perbankan Indonesia. Dalam menjalankan fungsinya, LPS bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, dalam kerangka Indonesia Financial Safety Net (IFSN) untuk menciptakan ketahanan sektor keuangan. Simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Proses likuidasi merupakan tindak lanjut dari penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan, dilakukan dengan mekanisme yang terpadu, efisien, dan efektif. Bank yang beroperasi di Indonesia diwajibkan menjadi peserta LPS dan membayar premi, sehingga LPS dapat menjalankan fungsinya. Jika bank gagal dan izin usahanya dicabut, LPS akan membayar simpanan nasabah hingga batas maksimal yang telah ditentukan. Dengan demikian, LPS berperan sebagai penyangga terakhir bagi nasabah jika terjadi kegagalan bank.

3. LPS dan Penanganan Bank Gagal Kasus Bank Century dan Perlindungan terhadap Systemic Risk

Sejak berdiri hingga saat ini, LPS baru menangani satu kasus penyelamatan bank, yaitu Bank Century (kini Bank Mutiara). Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana LPS bekerja dalam menyelamatkan bank yang bermasalah dan berpotensi menimbulkan systemic risk. Definisi bank gagal yang berdampak sistemik dijelaskan sebagai kegagalan bank yang berdampak besar, baik terhadap penarikan dana massal maupun terhadap perekonomian secara keseluruhan. Berbeda dengan bank gagal yang tidak berdampak sistemik, yang kegagalannya tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian. LPS diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan meminimalisir risiko yang membebani anggaran negara. Perlindungan terhadap systemic risk dan penarikan dana tiba-tiba dalam jumlah besar merupakan tujuan utama keberadaan LPS. Hal ini karena sebagian besar simpanan nasabah dialokasikan untuk pemberian kredit, sehingga bank dapat kesulitan memenuhi kewajibannya jika terjadi penarikan dana massal. Dengan demikian, peran LPS dalam menjaga kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem keuangan menjadi sangat penting.

IV.Otoritas Jasa Keuangan OJK dan Pengaturannya Terhadap Bank Gagal

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan, termasuk perbankan. OJK mengambil alih fungsi pengawasan perbankan dari BI. OJK berkoordinasi dengan LPS dalam menangani bank gagal, termasuk penetapan bank gagal dan proses likuidasi. OJK memiliki wewenang luas dalam pengaturan kelembagaan bank, kesehatan bank, dan pemeriksaan bank. Kerjasama OJK dan LPS sangat penting untuk menciptakan Indonesia Financial Safety Net (IFSN).

1. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan OJK dan Tugasnya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menandai babak baru dalam pengaturan dan pengawasan sektor perbankan di Indonesia. OJK, sebagai lembaga independen, menggantikan Bank Indonesia dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan. OJK memiliki fungsi, tugas, dan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan di Indonesia. Pembentukan OJK didorong oleh semakin banyaknya bank yang bermunculan dan permasalahan di sektor keuangan. Hal ini menunjukan kebutuhan akan lembaga profesional yang lebih baik untuk mendukung kinerja perbankan Indonesia. OJK memiliki wewenang yang luas dalam mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Salah satu tugas OJK adalah melakukan pemeriksaan bank. Dengan wewenang tersebut, OJK diharapkan mampu menciptakan sistem perbankan yang lebih sehat dan terhindar dari potensi masalah di masa depan.

2. Wewenang OJK dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki wewenang yang luas dalam mengatur dan mengawasi sektor perbankan. Pengaturan dan pengawasan meliputi kelembagaan bank (pendirian, pembukaan kantor, anggaran dasar, kepemilikan, kepengurusan, merger, akuisisi, pencabutan izin) dan kegiatan usaha bank (sumber dana, penyediaan dana, produk, dan aktivitas jasa). OJK juga mengawasi kesehatan bank, meliputi likuidasi, rehabilitasi, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank. Wewenang ini menunjukkan komprehensivitas OJK dalam mengawasi seluruh aspek operasional perbankan untuk memastikan kesehatan dan stabilitas sistem keuangan. Kejelasan wewenang OJK diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Dengan adanya pengawasan yang lebih ketat dan terintegrasi, diharapkan risiko sistemik dapat diminimalisir dan stabilitas sistem keuangan Indonesia dapat terjaga.

3. Kerjasama OJK dan LPS dalam Penanganan Bank Bermasalah

Terdapat kerjasama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menangani bank bermasalah. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa OJK wajib menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Kerjasama ini penting untuk memastikan penanganan yang terkoordinasi dan efektif terhadap bank yang mengalami kesulitan keuangan. OJK berperan dalam pengawasan dan penyehatan bank, sedangkan LPS berperan dalam menjamin simpanan nasabah dan menangani bank gagal. Definisi bank gagal, termasuk bank gagal yang berdampak sistemik, dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Bank gagal yang berdampak sistemik dapat mengancam stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Kerjasama antara OJK dan LPS menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menangani bank bermasalah, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan Indonesia.

V.Analisis Perbandingan Penanganan Bank Gagal Sebelum dan Sesudah OJK

Bagian ini menganalisis penanganan bank gagal sebelum dan sesudah pembentukan OJK. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dan normatif-empiris, merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UU Perbankan, UU BI, UU LPS, dan UU OJK. Fokusnya adalah peran LPS dalam menangani bank gagal dan kerjasama dengan OJK untuk menjaga kestabilan sistem keuangan Indonesia.

1. Perbandingan Sistem Pengawasan Perbankan Sebelum dan Sesudah OJK

Bagian ini membandingkan sistem pengawasan perbankan sebelum dan sesudah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memegang peran utama dalam pengawasan perbankan. Namun, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan ke OJK. Perubahan ini menandai adanya pergeseran signifikan dalam struktur pengawasan. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia sebelumnya menekankan pada lembaga pengawasan yang bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), berkoordinasi dengan BI. Namun, dengan pembentukan OJK, pengawasan perbankan menjadi lebih terpusat dan independen. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan, sekaligus memperkuat stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Analisis ini akan membandingkan bagaimana perbedaan mekanisme pengawasan dan penanganannya terhadap bank yang bermasalah sebelum dan sesudah era OJK.

2. Peran Lembaga Penjamin Simpanan LPS dalam Penanganan Bank Gagal Pasca OJK

Setelah berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam penanganan bank gagal tetap penting. OJK bertugas menetapkan bank gagal, sedangkan LPS bertugas menjamin simpanan nasabah dan menangani bank yang dinyatakan gagal. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mendefinisikan bank gagal sebagai bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya. Definisi bank gagal yang berdampak sistemik dan yang tidak berdampak sistemik juga dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Terdapat kerjasama antara OJK dan LPS, dimana OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan (Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011). Kerjasama ini sangat penting untuk memastikan koordinasi dan efisiensi dalam menangani bank gagal dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Studi kasus Bank Century (kini Bank Mutiara) sebagai satu-satunya kasus penyelamatan bank oleh LPS hingga saat itu, juga dianalisis dalam konteks pengaturan pasca-OJK.

3. Metode Penelitian dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, berfokus pada asas, norma, dan kaidah hukum dari berbagai peraturan perundangan yang relevan. Pendekatan ini dikombinasikan dengan pendekatan normatif-empiris, melihat implementasi hukum dalam praktik. Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK), bahan hukum sekunder (buku teks, jurnal, pendapat ahli), dan bahan hukum tersier (sumber internet). Penggunaan berbagai metode dan sumber data ini bertujuan untuk mendapatkan analisis yang komprehensif dan akurat mengenai penanganan bank gagal sebelum dan sesudah pembentukan OJK. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan regulasi dan implementasinya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia.