Pentingnya Pemilihan Umum dalam Mewujudkan Kedaulatan Rakyat di Indonesia

Pentingnya Pemilihan Umum dalam Mewujudkan Kedaulatan Rakyat di Indonesia

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 634.89 KB
Jenis dokumen Esai/Tugas Kuliah
  • Demokrasi
  • Pemilihan Umum
  • Kedaulatan Rakyat

Ringkasan

I.Perkembangan Politik Hukum Penyelesaian Sengketa Pilkada di Indonesia

Dokumen ini membahas evolusi politik hukum dalam penyelesaian sengketa Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia. Sebelum reformasi, Pilkada diatur oleh pemerintah pusat dan DPRD, dengan mekanisme hukum yang terbatas dan minim akses bagi rakyat untuk mengajukan keberatan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menunjukkan keterbatasan akses hukum terhadap keputusan DPRD terkait Pilkada. Kedaulatan rakyat dalam hal ini sangat terbatas. Reformasi membawa perubahan besar dengan diberlakukannya Pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menjamin partisipasi rakyat dan menegakkan asas Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil). Namun, implementasinya menimbulkan berbagai permasalahan dan sengketa yang sering berujung di pengadilan.

1. Pemilihan Kepala Daerah Pilkada Sebelum Reformasi Keterbatasan Akses Hukum dan Demokrasi Terbatas

Sebelum era reformasi, mekanisme pemilihan kepala daerah di Indonesia sangat terbatas dan tidak demokratis. Pemilihan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan campur tangan pemerintah pusat yang kuat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada masa itu, tidak memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif. Keputusan DPRD seringkali bersifat final dan tidak dapat digugat, bahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pun membatasi akses hukum terhadap keputusan tersebut. Kondisi ini menunjukkan kedaulatan rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah sangat lemah dan jauh dari prinsip demokrasi yang ideal. Ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilihan seringkali tidak terakomodasi melalui jalur hukum yang tersedia, menciptakan ketidakadilan dan memicu potensi konflik. Proses pemilihan cenderung dipengaruhi oleh kekuatan politik dan kurang transparan, sehingga tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara utuh. Ini menjadi salah satu faktor penyebab pemerintahan yang tidak demokratis pada masa tersebut.

2. Reformasi dan Pilkada Langsung Implementasi Kedaulatan Rakyat dan Munculnya Sengketa Baru

Era reformasi membawa perubahan signifikan dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini membuka jalan bagi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat, sebagai implementasi prinsip kedaulatan rakyat. Pilkada langsung diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang kredibel dan didukung rakyat, serta memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, pelaksanaan Pilkada langsung yang menjamin hak pilih dan dipilih bagi setiap warga negara ini ternyata juga memunculkan permasalahan baru. Meskipun kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, proses Pilkada langsung seringkali dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari tahapan kampanye hingga penetapan hasil yang berujung pada sengketa hukum. Kondisi ideal yang diharapkan – Pilkada yang Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) – tidak selalu terwujud. Persoalan ini bahkan seringkali berujung di pengadilan, dan ironisnya, proses penyelesaian hukum tidak selalu menyelesaikan masalah, justru dapat memperuncing konflik dan memicu ketidakpuasan berbagai pihak. Berbagai kasus kisruh Pilkada menunjukkan bahwa tantangan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung masih signifikan.

3. Perkembangan Regulasi dan Perubahan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada

Perkembangan hukum selanjutnya mengatur penyelesaian sengketa Pilkada. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Pilkada langsung resmi masuk dalam rezim Pemilu. Hal ini berdampak pada struktur penyelenggaraan Pilkada, dengan KPU yang memiliki hirarki hingga ke tingkat kabupaten/kota. Namun, perubahan paling krusial adalah peralihan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas memindahkan kewenangan ini. Mahkamah Agung sebelumnya menangani sengketa Pilkada karena Pilkada langsung saat itu belum sepenuhnya masuk rezim Pemilu. Setelah masuk rezim Pemilu, Pilkada dianggap sebagai general election, sehingga masuk dalam ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Peralihan ini bertujuan untuk menciptakan konsistensi dan menghindari kebingungan karena adanya dua lembaga tinggi negara yang menangani fungsi yang sama. Peralihan kewenangan ini menjadi sorotan penting dalam kajian politik hukum nasional, mengingat pentingnya memastikan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien dalam konteks demokrasi dan kedaulatan rakyat.

II.Peran Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Peradilan Lain dalam Sengketa Pilkada

Perubahan signifikan terjadi dengan dimasukkannya Pilkada langsung ke dalam rezim Pemilu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Ini mengakibatkan perubahan kewenangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Awalnya, Mahkamah Agung menangani sengketa Pilkada. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, kewenangan tersebut dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Pengadilan Tata Usaha Negara juga berperan dalam menyelesaikan sengketa administrasi terkait keputusan KPU, namun bukan sengketa hasil Pilkada itu sendiri. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan demokrasi Indonesia dan memastikan kedaulatan rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah.

1. Mahkamah Agung vs. Mahkamah Konstitusi Pergeseran Kewenangan dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada

Sebelum adanya perubahan regulasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) memiliki wewenang dalam menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang memasukkan Pilkada langsung ke dalam rezim Pemilu, terjadi pergeseran kewenangan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 072-073/PUU-II/2004 menjadi landasan hukum untuk peralihan ini, menyatakan bahwa Pilkada langsung harus berpedoman pada asas-asas Pemilu yang berlaku umum, seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber-jurdil). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada dari MA ke MK. Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan pengalihan tersebut paling lama 18 bulan setelah undang-undang diundangkan. Perubahan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Pilkada, setelah masuk rezim Pemilu, dianggap sebagai general election, sehingga masuk dalam ranah kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan. Peralihan ini menarik untuk dikaji dari sudut pandang politik hukum, terutama karena adanya potensi kebingungan bila dua lembaga tinggi negara memiliki wewenang yang sama.

2. Peran Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dalam Sengketa Pilkada

Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga berperan dalam sistem penyelesaian sengketa terkait Pilkada, meskipun tidak secara langsung menangani sengketa hasil Pilkada itu sendiri. PTUN memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa administrasi terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun bukan sengketa hasil Pilkada. Ini menunjukkan adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam sistem peradilan Indonesia terkait sengketa Pilkada. Sistem desentralisasi kewenangan dalam penyelesaian sengketa ini menunjukkan adanya pembagian yang spesifik antara lembaga peradilan. Perbedaan kewenangan antara MK dan PTUN didasarkan pada jenis sengketa yang ditangani. MK menangani sengketa hasil Pilkada yang bersifat konstitusional, sementara PTUN berfokus pada sengketa administrasi terkait proses penyelenggaraan Pilkada yang dilakukan oleh KPU. Pembagian kewenangan ini bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas dalam penyelesaian sengketa, menghindari tumpang tindih, dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

III.Analisis Yuridis Normatif terhadap Politik Hukum Penyelesaian Sengketa Pilkada

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk menganalisis politik hukum di balik penyelesaian sengketa Pilkada. Analisis difokuskan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, serta Putusan Mahkamah Konstitusi. Tujuannya untuk memahami perubahan regulasi, pergeseran kewenangan lembaga peradilan, dan dampaknya terhadap penegakan kedaulatan rakyat dan proses demokrasi Indonesia dalam konteks Pilkada. Penelitian menekankan pentingnya aturan hukum yang jelas dan spesifik untuk memastikan proses Pilkada yang berjalan luber jurdil dan mencegah konflik.

1. Analisis Yuridis Normatif terhadap Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

Bagian ini menganalisis politik hukum penyelesaian sengketa Pilkada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini menandai babak baru dalam Pilkada di Indonesia dengan diterapkannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Analisis yuridis normatif dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menelaah dan mengkritisi aturan hukum yang berlaku. Penelitian ini meneliti bagaimana UU tersebut mengatur mekanisme penyelesaian sengketa, kelebihan dan kekurangannya, serta dampaknya terhadap penyelenggaraan Pilkada yang demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Analisis juga akan membahas apakah UU tersebut mampu mengakomodasi prinsip-prinsip Pemilu yang luber dan jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) dalam konteks Pilkada. Perhatian khusus diberikan pada bagaimana UU tersebut memberikan akses hukum bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa Pilkada dan sejauh mana UU ini mampu menjamin keadilan dan kepastian hukum.

2. Analisis Yuridis Normatif terhadap Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi fokus analisis selanjutnya. Undang-undang ini melakukan revisi terhadap UU sebelumnya, khususnya terkait mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada. Analisis yuridis normatif dilakukan dengan metode yang sama seperti sebelumnya, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bagian ini akan membandingkan dan menganalisis perbedaan pengaturan penyelesaian sengketa Pilkada antara UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2008. Fokus analisis meliputi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Analisis akan membahas alasan di balik peralihan tersebut, dampaknya terhadap efektivitas dan efisiensi penyelesaian sengketa, serta implikasinya terhadap penegakan keadilan dan demokrasi dalam Pilkada. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang menjadi dasar hukum peralihan kewenangan tersebut juga akan dikaji secara mendalam dalam konteks politik hukum.