
Pentingnya Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 379.58 KB |
Jurusan | Hukum Tata Negara / Ilmu Hukum |
Jenis dokumen | Esai / Makalah |
- Negara Hukum
- Hak Asasi Manusia
- Reformasi Konstitusi
Ringkasan
I.Konsep Negara Hukum di Indonesia dan Perkembangannya
Dokumen ini membahas evolusi konsep Negara Hukum (Rechtstaat) di Indonesia, khususnya pasca amandemen UUD 1945 (1999-2002). Pembahasan menekankan bahwa Indonesia, sejak dirumuskan oleh founding fathers, dikonsepsikan sebagai Negara Hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan semata (machstaat). Perkembangan politik hukum di Indonesia turut dikaji, menunjukkan proses pembentukan Negara Hukum yang masih berlangsung dan belum sempurna, seperti yang diutarakan oleh Prof. A. Mukhtie Fadjar dan Satjipto Rahardjo. Pentingnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan perjanjian internasional terkait HAM juga diangkat sebagai pilar penting dalam pembangunan Negara Hukum yang ideal.
1. Konsep Negara Hukum Rechtstaat di Indonesia
Bagian ini menjelaskan bahwa sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah dikonsepkan sebagai Negara Hukum (Rechtstaat) bukan Machstaat, seperti yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945. Dokumen ini menekankan bahwa Negara Hukum merupakan gagasan founding fathers. Indonesia didefinisikan sebagai negara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin kesejahteraan seluruh warga negaranya. Istilah Rechtstaat sendiri, yang pertama kali digunakan oleh Rudolf van Gnes, merupakan konsepsi baru dari ide rule of law. Pembukaan UUD 1945 juga mengandung empat pokok pikiran yang mendukung konsep Negara Hukum ini: perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; menganut paham kedaulatan rakyat; dan negara berketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
2. Perkembangan Negara Hukum Indonesia Sebuah Proses yang Belum Selesai
Dokumen ini membahas bahwa meskipun UUD 1945 telah mengukuhkan Indonesia sebagai Negara Hukum, proses pembentukannya masih berlangsung dan belum sepenuhnya terwujud. Penulis mengutip pendapat Prof. A. Mukhtie Fadjar dan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa Indonesia belum menjadi negara hukum secara utuh. Negara Hukum Indonesia digambarkan sebagai bangunan yang belum selesai dan masih dalam proses pembentukan intensif. Hal ini dipertegas dengan adanya empat kali amandemen UUD 1945 antara tahun 1999-2002 sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998 yang menghendaki perubahan total, fundamental, menyeluruh dan sinergis dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkembangan ini juga dipengaruhi oleh tuntutan reformasi 1998 yang menuntut adanya pengaturan mengenai hak-hak asasi manusia (HAM) dan beberapa perjanjian internasional mengenai HAM yang telah diratifikasi. Dengan demikian, perjalanan menuju Negara Hukum yang ideal di Indonesia masih terus berlangsung dan memerlukan proses yang berkelanjutan.
3. Hak Asasi Manusia HAM dan Negara Hukum
Hak asasi manusia dijelaskan sebagai hak-hak kodrati yang melekat pada diri manusia karena kemanusiaannya, bukan karena pemberian masyarakat atau hukum positif. Sifat hak asasi manusia bersifat universal dan tidak dapat dicabut (inalienable). Meskipun terdapat perbedaan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan, setiap manusia tetap memiliki hak asasi manusia yang sama. Dokumen ini juga menyoroti pentingnya HAM sebagai fondasi Negara Hukum yang kuat dan berkeadilan. Penegakan HAM dan perjanjian internasional terkait HAM menjadi bagian integral dalam pembangunan Negara Hukum di Indonesia. Keberadaan HAM juga berkaitan erat dengan hak individu untuk hidup berkelompok dan berserikat, sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, HAM menjadi faktor krusial yang harus dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan Negara Hukum yang sesungguhnya di Indonesia.
II.Hak Kebebasan Berpendapat Berserikat dan Berkumpul
Dokumen ini secara khusus membahas jaminan konstitusional atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Perubahan UUD 1945 pasca reformasi 1998 memperkuat jaminan ini. Namun, perkembangan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia, termasuk dinamika hubungannya dengan negara, menunjukkan tantangan dalam praktiknya. Pengaturan Ormas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan kemudian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dikaji, menunjukkan perdebatan mengenai keseimbangan antara hak individual untuk berserikat dan kebutuhan perlindungan kepentingan umum.
1. Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Evolusi dalam UUD 1945
Bagian ini menelusuri sejarah pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul di Indonesia. Pasal 28 UUD 1945 (pra-reformasi) hanya menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul akan ditetapkan dengan undang-undang, tanpa memberikan jaminan konstitusional yang tegas dan langsung. Setelah reformasi 1998, melalui Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000, jaminan konstitusional ini diperkuat dalam Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Perubahan ini menandai pergeseran signifikan dari pendekatan yang sebelumnya lebih bersifat deklaratif menjadi pendekatan yang memberikan jaminan hak secara langsung dan tegas dalam konstitusi. Perubahan ini juga mencerminkan pengaruh tuntutan reformasi terhadap penguatan hak asasi manusia di Indonesia.
2. Dinamika Hubungan Organisasi Kemasyarakatan Ormas dan Negara
Dokumen ini mengkaji dinamika hubungan antara organisasi kemasyarakatan (ormas) dan negara di Indonesia. Hubungan ini digambarkan sebagai proses yang pasang surut, terkadang harmonis, namun seringkali ormas dikekang kebebasannya dan diintervensi oleh kekuasaan, khususnya pada masa Orde Baru. Munculnya berbagai ormas saat ini, dengan kompleksitas legalitas pendirian, pengelolaan organisasi dan keuangan, hubungan antar ormas, dan hubungan ormas dengan negara, menuntut adanya aturan hukum yang lebih baik. Keberadaan banyak LSM asing di Indonesia juga menjadi salah satu tantangan dalam konteks ini. Konstitusi telah menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, namun implementasinya masih memerlukan penyempurnaan agar sesuai dengan jaminan konstitusional dan melindungi kepentingan publik dari penyalahgunaan organisasi.
3. Regulasi Organisasi Kemasyarakatan Ormas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013
Pembahasan berlanjut pada analisis regulasi yang mengatur organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, produk rezim Orde Baru, memiliki tiga substansi pengaturan yang dinilai membatasi kebebasan berserikat: kewajiban berideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas; kewenangan pembinaan ormas yang menjadi otoritas pemerintah; dan kewenangan pemerintah untuk membekukan bahkan membubarkan ormas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, yang menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian, menimbulkan kerancuan karena yayasan dan perkumpulan telah memiliki pengaturan tersendiri dalam undang-undang lain. Dokumen ini juga membahas pandangan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dinilai kurang urgen oleh banyak organisasi karena dianggap terlalu interventif terhadap kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Terdapat kekhawatiran negara terlalu jauh masuk ke wilayah privat kebebasan berserikat, hingga menjadi penentu dapat tidaknya seseorang berserikat.
4. Kebebasan Berserikat sebagai Hak Asasi Manusia HAM
Bagian ini menegaskan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam instrumen-instrumen HAM internasional. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dikenal sebagai tiga kebebasan dasar yang termasuk dalam rumpun hak sipil dan politik. Oleh karena itu, pengaturan organisasi kemasyarakatan harus mencerminkan keseimbangan antara hak-hak individual untuk melaksanakan kebebasan dan kebutuhan perlindungan kepentingan umum. Pandangan Leon E. Irish, Robert Kushen, dan Karla W. Simon ditegaskan, bahwa undang-undang perlu ada di masyarakat yang terbuka untuk menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, berkumpul, berserikat, dan berkumpul secara damai. Namun, di sisi lain, hukum juga harus melindungi publik dari penyalahgunaan organisasi kemasyarakatan.
III.Analisis Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Ormas
Bagian utama dokumen ini menganalisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Analisis mencakup kajian terhadap definisi Ormas, aturan mengenai pendirian dan bentuk Ormas (termasuk yayasan dan perkumpulan), serta kewenangan pemerintah dalam membina dan bahkan membubarkan Ormas. Dokumen ini mempertanyakan apakah UU tersebut menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat secara efektif, atau malah membatasi hak-hak tersebut. Perbandingan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 juga dilakukan, menunjukkan perbedaan pendekatan dalam konteks politik hukum pada masa Orde Baru dan pasca reformasi. Permasalahan mengenai LSM asing juga disinggung.
1. Definisi Organisasi Kemasyarakatan Ormas dalam UU No. 17 Tahun 2013
Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimulai dengan mengkaji definisi Ormas itu sendiri. Dokumen mencatat adanya kerancuan pengertian Ormas yang bersumber dari ketidakjelasan norma dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Definisi Ormas dalam UU tersebut mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan maupun tanpa anggota. Namun, karena ketidakjelasan norma, definisi ini sering ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. UU No. 17 Tahun 2013, meski mencoba memperbaiki hal ini dengan memasukkan yayasan dan perkumpulan, tetapi masih menimbulkan kerancuan karena menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian (Pasal 9, 10, dan 11). Hal ini menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang tidak hanya terbatas pada 'Ormas'. Pasal 1 angka 1 UU 17/2013 yang hampir sama dengan Pasal 1 UU 8/1985, menunjukkan kesinambungan konsep Ormas yang kurang jelas.
2. Pendirian dan Bentuk Organisasi Kemasyarakatan Ormas
Dokumen ini juga menganalisis ketentuan mengenai pendirian dan bentuk Ormas dalam UU No. 17 Tahun 2013. Pasal 9 mengatur bahwa Ormas didirikan oleh minimal tiga warga negara Indonesia, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan. Pasal 10 menjelaskan bahwa Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum, baik berbasis anggota maupun tidak berbasis anggota. Namun, dengan keberadaan pasal-pasal ini, terdapat kekhawatiran bahwa amanat UUD 1945 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul justru menyempit dan dibatasi hanya menjadi 'Ormas'. Pengaturan yang terlalu luas dan tidak jelas ini dapat menimbulkan kerancuan dan potensi penyalahgunaan dalam praktiknya. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan dan batasan yang lebih jelas untuk menghindari ambiguitas dan konflik hukum.
3. Kewenangan Pemerintah dan Potensi Pembatasan Kebebasan Berserikat
Analisis selanjutnya berfokus pada kewenangan pemerintah dalam membina dan membubarkan Ormas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 memberikan kewenangan pemerintah untuk membubarkan Ormas jika dinilai tidak berlandaskan Pancasila atau tidak memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Dokumen ini membahas bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, yang dirancang sebagai instrumen rezim otoriter Soeharto, tidak mungkin dipertahankan karena digunakan untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat. UU Nomor 17 Tahun 2013, walaupun bertujuan untuk memperbaiki kelemahan UU sebelumnya, tetap menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi pemabatasan kebebasan berserikat. Penyeragaman ideologi, kontrol, dan kewajiban pelaporan yang diatur dalam UU ini dinilai sebagai potensi intervensi negara yang berlebihan pada ruang privat masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara peraturan negara dan jaminan hak kebebasan berserikat.
4. Perbandingan dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan Implikasinya
Dokumen ini membandingkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, produk rezim Orde Baru, dianggap sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat. Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 diharapkan dapat memperbaiki kelemahan tersebut. Namun, dokumen ini menunjukkan bahwa kontruksi organisasi kemasyarakatan yang diformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 masih digunakan bahkan nyaris sama dengan apa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Penelitian Moh. Mahfud M.D. disebutkan untuk menunjukkan bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk hukum. Dokumen mengakhiri bagian ini dengan menekankan perlunya rancangan naskah akademis yang baik untuk menghasilkan undang-undang yang kuat dan berkualitas dari segi akademis dan pertimbangan hukum.
IV.Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dokumen ini berfokus pada evaluasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 terhadap jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat di Indonesia, dengan menimbang aspek politik hukum dan pengaruhnya terhadap HAM. Saran yang diberikan kemungkinan mencakup usulan perbaikan regulasi agar UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) lebih seimbang dalam melindungi hak individual dan kepentingan umum, serta memastikan pengaturan tersebut selaras dengan prinsip Negara Hukum dan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).
1. Kesimpulan Analisis Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas
Kesimpulan dari analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) akan merangkum temuan-temuan utama dari kajian tersebut. Kesimpulan ini akan membahas apakah UU tersebut telah berhasil menyeimbangkan antara jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dengan perlindungan kepentingan umum. Kesimpulan juga akan menyinggung apakah UU ini sesuai dengan prinsip Negara Hukum dan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Analisis akan mempertimbangkan apakah UU tersebut secara efektif menangani kerancuan definisi Ormas, dan apakah UU ini berhasil menghindari intervensi berlebihan dari negara terhadap kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi. Kesimpulan juga memperhatikan perbedaan pendekatan antara UU ini dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, serta implikasi dari perbedaan tersebut terhadap praktik kebebasan berserikat di Indonesia.
2. Saran untuk Perbaikan Regulasi dan Pengaturan Ormas
Bagian saran akan memberikan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan pengaturan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia. Saran ini akan berfokus pada bagaimana menciptakan keseimbangan antara kebebasan berserikat dan perlindungan kepentingan umum. Saran dapat meliputi usulan perbaikan definisi Ormas yang lebih jelas dan tidak ambigu, serta mempertimbangkan semua bentuk organisasi yang berhak mendapatkan jaminan konstitusional atas kebebasan berserikat. Saran juga akan mencakup usulan untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan perlindungan publik dari penyalahgunaan Ormas, tanpa mengurangi jaminan hak kebebasan berserikat. Saran dapat meliputi usulan mengenai bagaimana pemerintah dapat berperan dalam membina dan mengembangkan Ormas tanpa intervensi yang berlebihan. Semua saran akan diarahkan untuk mewujudkan suatu sistem yang menghormati hak-hak asasi manusia dan prinsip Negara Hukum.