
Pentingnya Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 1.01 MB |
Jurusan | Hukum |
Jenis dokumen | Skripsi/Tesis/Makalah |
- arbitrase
- penyelesaian sengketa
- hukum bisnis
Ringkasan
I.Permasalahan Eksekusi Putusan Basyarnas dalam Sengketa Ekonomi Syariah
Dokumen ini membahas dualisme kewenangan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam sengketa ekonomi syariah. Terdapat konflik antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terkait kewenangan menjalankan putusan Basyarnas yang bersifat final dan mengikat. Permasalahan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menghambat perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menjadi dasar hukum yang saling bertentangan dalam hal ini. Kasus seperti putusan BPRS Buana Mitra Perwira terhadap Hernan Rasno Wibowo di Pengadilan Agama Purbalingga menjadi contoh nyata dari konflik kewenangan ini.
1. Inefisiensi Sistem Peradilan Konvensional dan Kebutuhan Arbitrase
Dokumen ini mengawali pembahasan dengan menekankan kelemahan sistem peradilan konvensional Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bisnis, khususnya yang melibatkan ekonomi syariah. Proses peradilan yang rumit dan memakan waktu (“more complexs and time consuming procedures of the official court system”) serta kurangnya pemahaman hakim terhadap nuansa bisnis, mendorong kalangan bisnis untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa yang lebih efisien. Hal ini mengarah pada popularitas arbitrase, terutama di negara-negara maju, sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (ADR) yang cepat, informal, rahasia, dan menghasilkan solusi yang disetujui bersama (“informal procedure, confidential and mutual acceptable solutions”). Peribahasa Tiongkok kuno yang menggambarkan pengadilan sebagai tempat yang lebih menakutkan daripada mulut macan, merefleksikan persepsi negatif terhadap lambatnya proses peradilan di Indonesia. Kondisi ini diperparah oleh krisis ekonomi berkepanjangan yang semakin menekan kebutuhan akan penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien, seperti yang disarankan oleh IMF untuk mendukung investasi dan pemulihan ekonomi.
2. Perkembangan Arbitrase Syariah dan Peran Basyarnas
Dalam konteks Indonesia, munculnya Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), sebelumnya dikenal sebagai BAMUI (Yayasan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), merupakan respons terhadap pesatnya perkembangan ekonomi syariah. Basyarnas didirikan sebagai lembaga arbitrase yang sah secara yuridis formal (Akta Pendirian Yayasan nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993), bertujuan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan Basyarnas diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, keadilan, ketertiban, dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah, yang semakin kompleks seiring dengan semakin global dan dinamisnya perekonomian modern. Prof. Mariam Daus Badrulzaman mendukung berdirinya Basyarnas karena sengketa bisnis syariah dapat diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi landasan hukum utama bagi keberadaan dan operasional Basyarnas, sebagai wujud nyata upaya negara untuk mendorong penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
3. Dualisme Kewenangan Eksekusi Putusan Basyarnas Pengadilan Negeri vs. Pengadilan Agama
Kendati putusan arbitrase, termasuk Basyarnas, bersifat final dan mengikat (Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999), masalah muncul dalam eksekusi putusan. Karena lembaga arbitrase swasta seperti Basyarnas tidak memiliki juru sita, eksekusi putusan biasanya dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Namun, dalam konteks sengketa ekonomi syariah, muncul dualisme kewenangan eksekusi antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 awalnya memberikan kewenangan eksekusi kepada Pengadilan Agama, berlandaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) yang memberikan wewenang absolut kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Namun, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 kemudian membatalkan Surat Edaran sebelumnya, menegaskan kembali kewenangan Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Konflik kewenangan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan kerancuan bagi pelaku ekonomi syariah yang menggunakan jasa Basyarnas.
4. Kasus BPRS Buana Mitra Perwira vs. Hernan Rasno Wibowo sebagai Ilustrasi Konflik
Kasus antara BPRS Buana Mitra Perwira dan Hernan Rasno Wibowo di Pengadilan Agama Purbalingga menjadi contoh nyata konflik kewenangan eksekusi putusan Basyarnas. Dalam kasus wanprestasi pembiayaan musyarakah sebesar 30 juta rupiah ini, eksekusi lelang dilakukan oleh Pengadilan Agama Purbalingga setelah tergugat menolak melaksanakan putusan Basyarnas secara sukarela. Kasus ini mengilustrasikan bagaimana ketidakjelasan regulasi mengenai eksekusi putusan Basyarnas di bidang ekonomi syariah berdampak langsung pada praktik di lapangan dan menimbulkan keraguan bagi para pihak yang berselisih. Ketidakpastian ini mengancam eksistensi Basyarnas dan mengurangi kepercayaan terhadap proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Permasalahan ini juga mempertanyakan kepastian hukum yang seharusnya dijamin oleh Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa bisnis, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
II.Tinjauan Yuridis Normatif Eksekusi Putusan Basyarnas
Analisis yuridis normatif menunjukkan adanya dualisme kewenangan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas untuk sengketa ekonomi syariah. Pasal 61 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan pasal 59 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Surat Edaran Mahkamah Agung terkait, menjadi sumber ketidakjelasan ini. Perdebatan berpusat pada apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang lebih berwenang, mengingat Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi absolut atas ekonomi syariah.
1. Putusan Arbitrase dan Kekuatan Hukumnya
Bagian ini membahas dasar hukum eksekusi putusan Basyarnas. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditekankan, yang menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Kewajiban para pihak untuk melaksanakan putusan secara sukarela dijelaskan. Namun, jika terjadi keengganan untuk melaksanakan putusan, Pasal 61 undang-undang yang sama mengatur tentang pelaksanaan putusan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Ini menunjukkan bahwa meskipun putusan Basyarnas final dan mengikat, pelaksanaannya tetap bergantung pada sistem peradilan formal.
2. Peran Pengadilan Agama dalam Eksekusi Putusan Basyarnas untuk Sengketa Ekonomi Syariah
Analisis selanjutnya mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama (sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009). Pasal 49 Undang-Undang tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Dari sini, diinterpretasikan bahwa Pengadilan Agama seharusnya menjadi lembaga eksekutorial terhadap putusan Basyarnas untuk sengketa ekonomi syariah. Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 secara rinci menjelaskan cakupan ekonomi syariah, mencakup berbagai sektor usaha yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Pendapat yang mendukung Pengadilan Agama sebagai eksekutor putusan Basyarnas untuk sengketa ekonomi syariah didasarkan pada keselarasan antara hukum materiil (berlandaskan prinsip-prinsip Islam) dengan lembaga peradilan yang representatif (Pengadilan Agama) dan aparat hukumnya yang menguasai hukum Islam.
3. Konflik Kewenangan dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Dokumen ini mencatat adanya benturan kewenangan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal eksekusi putusan Basyarnas. Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan eksekusi kepada Pengadilan Agama. Surat edaran ini didasarkan pada pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (sebagaimana telah diubah). Namun, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 membatalkan Surat Edaran sebelumnya, merujuk pada Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menegaskan kewenangan Pengadilan Negeri dalam melaksanakan eksekusi putusan badan arbitrase. Situasi ini menimbulkan kebingungan dan kerancuan hukum, di satu sisi ada pasal yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang, di sisi lain pasal lain seolah menegaskan kewenangan Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah.
4. Dampak Dualisme Kewenangan terhadap Kepastian Hukum dan Eksistensi Basyarnas
Dualisme kewenangan ini berpotensi merugikan perkembangan dan eksistensi Basyarnas. Para pihak yang bersengketa akan ragu untuk memilih Basyarnas sebagai forum penyelesaian sengketa karena ketidakpastian mengenai lembaga eksekutor. Hal ini menjadi kendala serius yang dapat menghambat kinerja dan kredibilitas Basyarnas. Penulis berpendapat, merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (Pasal 61) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (Pasal 59 ayat 3) serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010, Pengadilan Negeri lah yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas, meskipun hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan efektivitas Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
III.Yurisdiksi Kewenangan dalam Eksekusi Putusan Basyarnas untuk Sengketa Ekonomi Syariah
Berdasarkan kajian yurisdiksi, Pengadilan Agama dinilai lebih berwenang menjalankan eksekusi putusan Basyarnas dalam sengketa ekonomi syariah. Hal ini didasarkan pada dua alasan utama: pertama, dasar legalitas Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan absolut atas sengketa ekonomi syariah, dan kedua, relevansi substansial antara substansi sengketa dan kewenangan Pengadilan Agama untuk menerapkan hukum Islam. Ketidakjelasan regulasi ini berdampak negatif pada keberlangsungan dan kepercayaan terhadap Basyarnas sebagai lembaga penyelesaian arbitrase syariah.
1. Argumentasi Kewenangan Pengadilan Agama
Bagian ini berargumen bahwa Pengadilan Agama lebih berwenang dalam melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas untuk sengketa ekonomi syariah. Argumentasi ini didasarkan pada dua hal utama. Pertama, adanya dasar legalitas yang kuat, yaitu kewenangan absolut Pengadilan Agama atas sengketa ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama (yang telah beberapa kali direvisi), khususnya Pasal 49. Undang-undang ini secara eksplisit memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi syariah, yang cakupannya mencakup berbagai sektor keuangan dan bisnis syariah. Kedua, argumentasi ini menekankan relevansi substansial. Pengadilan Agama, sebagai lembaga peradilan yang berbasis hukum Islam, dinilai lebih kompeten untuk memahami dan menerapkan hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, sehingga tercipta keselarasan antara hukum materiil dan lembaga peradilan yang menanganinya.
2. Pertimbangan Relevansi Substansi dan Keselarasan Hukum
Penulis menyoroti pentingnya keselarasan antara hukum materiil (yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam) dengan lembaga peradilan yang menangani sengketa ekonomi syariah. Pengadilan Agama dianggap sebagai representasi lembaga peradilan Islam, dan aparat hukum di dalamnya dinilai telah menguasai hukum Islam. Oleh karena itu, pemilihan Pengadilan Agama dianggap tepat dan bijaksana karena mampu memastikan keselarasan antara substansi sengketa (yang berbasis hukum Islam) dengan lembaga peradilan yang memiliki keahlian dan pemahaman mendalam tentang hukum tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, sehingga mendukung iklim investasi dan perkembangan ekonomi syariah yang lebih kondusif.
3. Perkembangan Hukum dan Perubahan Kewenangan Eksekusi
Meskipun argumentasi kuat mendukung kewenangan Pengadilan Agama, realita di lapangan menunjukkan adanya konflik kewenangan. Penulis mencatat adanya perubahan regulasi dan putusan Mahkamah Agung yang berpotensi menimbulkan kebingungan. Awalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 memberikan kewenangan eksekusi kepada Pengadilan Agama. Namun, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 membatalkan edaran sebelumnya, menegaskan kembali kewenangan Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kondisi ini menimbulkan dualisme dan ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan keraguan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketanya melalui Basyarnas.
4. Kesimpulan Pengadilan Agama Lebih Berwenang
Meskipun terdapat perubahan regulasi dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang menimbulkan dualisme kewenangan, penelitian ini menyimpulkan bahwa Pengadilan Agama tetap lebih berwenang dalam melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas terkait sengketa ekonomi syariah. Kesimpulan ini didasarkan pada dua alasan utama: pertama, dasar legalitas yang lebih kuat dari Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (dan revisinya) yang memberikan kewenangan absolut atas sengketa ekonomi syariah; dan kedua, relevansi substansial antara substansi sengketa (yang berbasis pada hukum Islam) dengan kompetensi dan keahlian Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum Islam. Kejelasan mengenai kewenangan ini penting untuk memastikan kepastian hukum, meningkatkan kepercayaan publik terhadap Basyarnas, dan mendorong perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
IV.Kesimpulan dan Rekomendasi terkait Arbitrase Syariah dan Basyarnas
Dokumen ini menyimpulkan bahwa dualisme kewenangan eksekusi putusan Basyarnas dalam sengketa ekonomi syariah perlu segera diselesaikan untuk menciptakan kepastian hukum. Rekomendasi yang diajukan fokus pada penyempurnaan regulasi agar kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani eksekusi putusan arbitrase syariah menjadi lebih jelas dan terhindar dari ambiguitas, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap Basyarnas dan mendorong perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Perbaikan regulasi ini sangat penting untuk memastikan efektivitas arbitrase syariah sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia.
1. Kesimpulan Dualisme Kewenangan Eksekusi Putusan Basyarnas
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah masih adanya dualisme kewenangan eksekusi putusan Basyarnas dalam sengketa ekonomi syariah antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Dari tinjauan yuridis normatif, ketidakjelasan regulasi menyebabkan konflik kewenangan ini. Perbedaan interpretasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang saling bertentangan, mengakibatkan situasi hukum yang tidak pasti. Meskipun demikian, berdasarkan aspek yurisdiksi kewenangan, penelitian menyimpulkan bahwa Pengadilan Agama lebih berwenang karena memiliki kewenangan absolut atas sengketa ekonomi syariah dan relevansi substansial dengan materi sengketa yang diadili.
2. Rekomendasi untuk Penyelesaian Dualisme dan Penguatan Basyarnas
Untuk mengatasi dualisme kewenangan dan menciptakan kepastian hukum, penelitian ini merekomendasikan penyempurnaan regulasi terkait eksekusi putusan Basyarnas, terutama dalam sengketa ekonomi syariah. Rekomendasi utamanya adalah mengkaji ulang dan mengklarifikasi peraturan perundang-undangan yang relevan, sehingga kewenangan Pengadilan Agama dalam melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas di bidang ekonomi syariah menjadi jelas dan tidak ambigu. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan publik terhadap Basyarnas sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Dengan demikian, kepastian hukum dalam arbitrase syariah dapat terwujud dan mendukung perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Kejelasan regulasi ini diharapkan dapat mengatasi keraguan para pihak yang berselisih dan mencegah hambatan dalam proses penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase syariah.