Penerapan Desentralisasi dan Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

Penerapan Desentralisasi dan Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 216.48 KB
Jurusan Ilmu Pemerintahan/Administrasi Publik
Jenis dokumen Esai/Makalah
  • Tata Kelola Pemerintahan
  • Desentralisasi
  • Pemerintahan Desa

Ringkasan

I.Latar Belakang Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia

Dokumen ini membahas desentralisasi dan dampaknya terhadap pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi landasan utama, yang memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota. Studi ini meneliti empat dimensi penting hubungan pusat-daerah: kewenangan, kelembagaan, keuangan (sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan), dan pengawasan. Konsep 'spanning' (Bagir Manan) menggambarkan tarik-menarik dalam pembagian kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah.

1. Definisi Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Bagian ini memulai dengan mendefinisikan desentralisasi sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Ini menekankan otonomi daerah sebagai konsep kunci. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi dasar hukum utama yang memberikan konsekuensi pada berbagai aspek pemerintahan daerah, termasuk prinsip penyelenggaraan, susunan pemerintahan dan hak DPRD, pertanggungjawaban Kepala Daerah, kepegawaian, keuangan daerah, dan pemerintahan desa serta pembinaan dan pengawasan. Pengaturan otonomi daerah ini juga dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai UU sektoral, namun pembagian kewenangannya seringkali tidak seragam, menghasilkan dinamika yang disebut 'spanning' oleh Bagir Manan, menggambarkan tarik-menarik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Empat Dimensi Penting Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dokumen selanjutnya mengidentifikasi empat dimensi krusial dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasca desentralisasi. Dimensi-dimensi ini meliputi: (1) hubungan kewenangan, menjabarkan perbedaan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah meskipun obyek yang diurus sama; (2) hubungan kelembagaan, menekankan kehati-hatian dalam menentukan struktur kelembagaan yang dibutuhkan di tingkat pusat dan daerah; (3) hubungan keuangan, yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan (4) hubungan pengawasan, sebagai konsekuensi logis dari pemberian kewenangan untuk menjaga keutuhan negara kesatuan. Keempat dimensi ini saling berkaitan dan mempengaruhi efektifitas otonomi daerah.

3. Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Good Governance

Latar belakang desentralisasi di Indonesia juga dikaitkan dengan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance. Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencapai efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi bukan hanya pembagian kewenangan, tetapi juga bagian dari reformasi birokrasi untuk peningkatan kualitas layanan publik dan penguatan demokrasi. Dengan demikian, desentralisasi dan otonomi daerah berperan kunci dalam mencapai tujuan Good Governance di Indonesia.

II.Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD Peran dan Hubungannya

Fokus utama adalah pada pemerintah desa dan perannya dalam desentralisasi. Kepala Desa sebagai eksekutif dan BPD sebagai legislatif memiliki peran vital. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mendefinisikan Pemerintahan Desa dan peran BPD dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Studi ini menitikberatkan pada hubungan dan potensi konflik antara Kepala Desa dan BPD dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan, termasuk dalam hal alokasi dana desa (ADD) dan pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD).

1. Peran Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa BPD

Bagian ini menjelaskan peran penting Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 200 ayat 1, menyebutkan adanya dua unsur pemerintahan penting di desa: Pemerintah Desa dan BPD. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa lebih lanjut menjabarkan Pemerintah Desa, yang terdiri dari Kepala Desa dan perangkat desa, dengan tugas utama menciptakan kehidupan demokratis, memberikan pelayanan sosial yang baik untuk kesejahteraan masyarakat. BPD dijelaskan sebagai lembaga legislatif desa, berperan sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan Pemerintah Desa. Fungsi BPD, antara lain, menetapkan peraturan desa (perdes) bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. BPD diharapkan mampu menjadi aspirator dan artikulator aspirasi masyarakat desa.

2. Fungsi dan Kewenangan BPD dalam Demokrasi Desa

Penjelasan lebih lanjut diberikan mengenai fungsi dan wewenang BPD sebagai lembaga representasi masyarakat desa. BPD bukan sekadar perpanjangan tangan pemerintah, tetapi juga perpanjangan tangan masyarakat, menjembatani aspirasi warga dengan Pemerintah Desa. Pasal 209 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan fungsi BPD dalam menetapkan peraturan desa (perdes) bersama Kepala Desa, dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat. Kehadiran BPD diharapkan menciptakan hubungan sinergis antara legislatif dan eksekutif di desa, menghindari konflik dan mendukung demokrasi desa. Wewenang BPD juga mencakup pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa, memastikan pemerintahan yang berkualitas, dinamis, transparan, baik, dan bersih. Peran kontrol BPD yang sebelumnya sering tertutup, kini diharapkan berlangsung terbuka dan prosedural, meningkatkan akuntabilitas dan keseimbangan kekuasaan di tingkat pemerintah desa.

3. Potensi Konflik dan Hubungan Dualisme Kepala Desa dan BPD

Dokumen selanjutnya membahas potensi konflik antara Kepala Desa dan BPD, yang seringkali terjadi di berbagai daerah. Konflik ini dapat terjadi antar individu, individu dan kelompok, maupun antar kelompok, dipicu oleh hubungan yang kurang harmonis antara eksekutif (Kepala Desa) dan legislatif (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dokumen menyoroti dualism kekuasaan dan potensi konflik dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam konteks pembangunan dan pengelolaan sumber daya desa, seperti Tanah Kas Desa (TKD). Contohnya, keputusan Kepala Desa mengenai alih fungsi TKD tanpa persetujuan BPD dapat memicu konflik. Oleh karena itu, relasi yang harmonis dan sinergis antara Kepala Desa dan BPD sangat krusial untuk terwujudnya pemerintahan desa yang demokratis dan efektif.

III.Studi Kasus Relasi Kepala Desa dan BPD di Desa Oro oro Ombo Kota Batu

Penelitian dilakukan di Desa Oro-oro Ombo, Kota Batu, Jawa Timur, untuk meneliti relasi antara Kepala Desa dan BPD dalam konteks pemerintahan desa yang demokratis di era desentralisasi. Kota Batu sendiri menjadi daerah otonom sejak tahun 2001 (berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2001). Kasus pembangunan Pasar Desa Wisata di atas TKD menjadi contoh konflik potensial antara Kepala Desa (Wiweko) dan BPD (Sugiono) yang akan dianalisa dalam penelitian ini, menggambarkan relasi dominasi, subordinasi, atau kemitraan antara kedua lembaga tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengkaji relasi keduanya dalam pembuatan peraturan desa (perdes), kebijakan pemerintah desa (misalnya, pembebasan TKD), dan proses kontrol.

1. Desa Oro oro Ombo Kota Batu sebagai Lokasi Studi

Penelitian ini menggunakan Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur sebagai studi kasus. Pemilihan Desa Oro-oro Ombo didasarkan pada indikasi adanya relasi yang menarik antara Kepala Desa dan BPD dalam mewujudkan tata pemerintahan desa yang demokratis di era otonomi daerah. Kota Batu sendiri telah resmi menjadi daerah otonom sejak tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001. Salah satu alasan fundamental pembentukan Kota Batu adalah kesiapan administrasi pelayanan publik yang lebih efisien dan efektif bagi masyarakat. Desa Oro-oro Ombo, sebagai salah satu desa di Kota Batu, memiliki potensi konflik antara Kepala Desa dan BPD yang relevan untuk dikaji dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis di era desentralisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relasi Kepala Desa dan BPD dalam konteks ini.

2. Peran Pemerintah Desa dan BPD di Oro oro Ombo

Di Desa Oro-oro Ombo, baik BPD maupun Pemerintah Desa dituntut memiliki sumber daya manusia yang profesional dan kapabel untuk merespon dinamika pembangunan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 215 ayat (1), menetapkan pelibatan Pemerintah Desa dan BPD dalam pembangunan kawasan pedesaan. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640SJ tanggal 22 Maret 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD) menegaskan kewajiban Pemerintah Kabupaten untuk membuat Perda tentang ADD. Ini menunjukkan pentingnya kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangan. Pola hubungan Kepala Desa dan BPD di Oro-oro Ombo mengindikasikan adanya dualisme peran, dengan Kepala Desa sebagai eksekutif dan BPD sebagai legislatif dalam perumusan kebijakan (perdes). Adanya kontrol dari BPD diharapkan dapat mengembangkan sistem pemerintahan desa yang demokratis.

3. Konflik dan Dualisme Kekuasaan di Desa Oro oro Ombo

Bagian ini mengkaji konflik yang terjadi antara Kepala Desa dan BPD di Desa Oro-oro Ombo. Konflik ini terutama terkait dengan dualisme kekuasaan dalam tubuh pemerintah desa. Contohnya adalah pembangunan Pasar Desa Wisata di atas Tanah Kas Desa (TKD) milik Pemerintah Desa Oro-oro Ombo, yang dilakukan oleh Kepala Desa (Wiweko) tanpa persetujuan BPD (Sugiono). Hal ini menjadi fokus penelitian karena menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan dan kurangnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif. Konflik ini menimbulkan pertanyaan besar bagi publik, karena menunjukkan ketidaksejalan antara Kepala Desa dan BPD dalam pembentukan kebijakan, baik terkait peraturan desa maupun proyek pembangunan. Penelitian ini akan menelaah bagaimana relasi ini mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis di era desentralisasi.

IV.Metodologi Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan metode pengumpulan data melalui wawancara terstruktur, studi dokumentasi (termasuk peraturan desa dan media massa), dan observasi. Analisis data bersifat kualitatif, menggambarkan keadaan obyektif berdasarkan data yang diperoleh.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Pendekatan kualitatif dipilih untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi fenomena atau kenyataan sosial terkait relasi Kepala Desa dan BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah dan unit yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara rinci situasi dan kondisi hubungan antara Kepala Desa dan BPD di Desa Oro-oro Ombo, Kota Batu, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang dinamika pemerintahan desa di lokasi studi. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali informasi mendalam dan memahami kompleksitas hubungan tersebut dalam konteks desentralisasi.

2. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian secara sengaja dipilih di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu, karena penyelenggaraan pemerintahan di desa tersebut menunjukkan adanya relasi yang signifikan antara Kepala Desa dan BPD. Subjek penelitian adalah pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi relevan, diwawancarai secara langsung. Subjek penelitian meliputi individu-individu yang dianggap memiliki kapabilitas dan pemahaman yang baik terkait latar belakang penelitian, yaitu tentang relasi Kepala Desa dan BPD dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa di era desentralisasi. Data yang dikumpulkan diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai relasi tersebut di Desa Oro-oro Ombo.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: (1) Wawancara terstruktur, menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan untuk memperoleh kejelasan mengenai permasalahan yang ada; (2) Dokumentasi, meliputi berbagai dokumen seperti peraturan, media massa, dan gambar, untuk memberikan konteks dan informasi tambahan terkait penyelenggaraan pemerintahan desa dan relasi antara Kepala Desa dan BPD di Desa Oro-oro Ombo; dan (3) Studi dokumentasi, yang merupakan teknik pengumpulan data tidak langsung yang dapat berupa berbagai macam dokumen, baik resmi maupun tidak resmi. Penggunaan metode gabungan ini bertujuan untuk mendapatkan data yang komprehensif dan akurat untuk analisis kualitatif.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Data yang diperoleh dari wawancara, dokumentasi, dan observasi akan dianalisis dengan cara mendeskripsikan keadaan obyek secara obyektif. Proses analisis melibatkan pengurutan data, pengkategorian, dan penyusunan uraian dasar untuk menghasilkan kesimpulan yang komprehensif. Analisis kualitatif dipilih untuk memahami kompleksitas relasi Kepala Desa dan BPD, termasuk nuansa, konteks sosial, dan pemahaman subyektif dari para informan terkait penyelenggaraan pemerintahan desa di Desa Oro-oro Ombo. Kesimpulan penelitian akan didasarkan pada data yang telah dianalisis secara cermat dan sistematis.