
Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Peran Transparansi Internasional
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 178.02 KB |
Jurusan | Hubungan Internasional |
Jenis dokumen | Tugas Akhir/Esai |
- korupsi
- pemberantasan korupsi
- Transparansi Internasional
Ringkasan
I.Latar Belakang Masalah Background of the Problem
Skripsi ini membahas korupsi di Indonesia, yang digambarkan sebagai penyakit kronis yang merusak bangsa. Tingkat kemiskinan meningkat tajam akibat korupsi yang merajalela, mengakibatkan potensi penghancuran sendi-sendi kehidupan bangsa. Korupsi dianggap sebagai akar dari semua masalah, dan telah mengakar sejak lama, bukan hanya di Indonesia tetapi di berbagai negara.
1. Dampak Korupsi yang Merajalela
Bagian awal latar belakang masalah langsung menjabarkan dampak buruk korupsi yang semakin merajalela di Indonesia. Meningkatnya angka kemiskinan secara tajam menjadi konsekuensi langsung dari maraknya korupsi. Situasi ini dinilai berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Penulis mengutip pernyataan Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa korupsi merupakan akar dari semua permasalahan. Namun, dijelaskan pula bahwa praktik korupsi telah berakar kuat sejak lama dan bukan hanya menjadi masalah Indonesia semata, melainkan juga negara-negara lain di dunia. Gejala-gejala korupsi yang muncul di Indonesia akhir-akhir ini ditandai dengan kasus-kasus yang silih berganti mencuat ke permukaan, dan yang perlu diperhatikan adalah mayoritas pelaku korupsi berasal dari kalangan kelas atas (high class). Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah sekadar penyimpangan perilaku, melainkan tindakan yang direncanakan secara matang dengan perhitungan untung-rugi oleh para pelanggar hukum yang memiliki status terhormat.
2. Korupsi sebagai Penyakit Kronis Bangsa
Lebih lanjut, latar belakang masalah menekankan pandangan umum bahwa korupsi di Indonesia telah menjelma menjadi budaya. Parahnya, korupsi diibaratkan sebagai penyakit kanker kronis yang menggerogoti bangsa dari dalam. Ini menggarisbawahi betapa seriusnya masalah korupsi dan betapa dalam pengaruhnya terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara. Gambaran korupsi sebagai penyakit kronis ini bertujuan untuk menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi dan bagaimana ia telah menjadi bagian integral dari sistem. Penulis ingin menekankan urgensi penanganan masalah korupsi dengan sudut pandang yang serius dan menyeluruh.
3. Upaya Internasional dalam Pemberantasan Korupsi
Disebutkan bahwa karena keparahan masalah korupsi, dunia internasional turut serta dalam upaya pemberantasannya. Salah satu wujud nyata dari upaya tersebut adalah berdirinya LSM Transparansi Internasional, yang menjadi organisasi non-pemerintah dan non-profit yang fokus dalam memberantas korupsi secara global. Transparansi Internasional, yang didirikan pada tahun 1993 dan dipimpin oleh Huguette Labelle, memiliki 99 cabang di berbagai belahan dunia. Cabang Transparansi Internasional Indonesia didirikan pada Oktober 2000 dan merupakan bagian dari organisasi utama yang berpusat di Berlin, Jerman. Ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalah masalah global yang memerlukan kolaborasi dan kerjasama internasional. Adanya Transparansi Internasional menunjukkan komitmen global untuk memerangi korupsi dan menjadikannya sebagai agenda penting yang memerlukan penanganan secara bersama-sama.
II.Peran Transparansi Internasional The Role of Transparency International
Organisasi masyarakat sipil, Transparansi Internasional (TI), berperan penting dalam upaya global pemberantasan korupsi. TI mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. TI Indonesia, didirikan tahun 2000, berupaya meningkatkan transparansi, efisiensi, dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan politik. TI menggunakan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) untuk mengukur tingkat korupsi di berbagai negara. TI Indonesia juga bekerja pada strategi preventif dan represif untuk memberantas korupsi.
1. Transparansi Internasional Organisasi dan Tujuan
Bagian ini memperkenalkan Transparansi Internasional (TI) sebagai organisasi masyarakat sipil yang memimpin perjuangan melawan korupsi di dunia. TI didirikan pada tahun 1993 dan dipimpin oleh Huguette Labelle. Sebagai satu-satunya organisasi non-pemerintah dan non-profit yang fokus pada pemberantasan korupsi, TI memiliki 99 cabang di berbagai negara. TI Indonesia, didirikan pada Oktober 2000, merupakan salah satu cabang TI yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Tujuan utama TI Indonesia adalah untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, birokrasi, dan politik demi kemakmuran seluruh rakyat. Deskripsi ini menunjukan jangkauan global TI dan komitmennya dalam memerangi korupsi, serta peran TI Indonesia dalam konteks nasional.
2. Definisi Korupsi menurut Transparansi Internasional
Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. TI membedakan antara korupsi yang 'sesuai aturan' dan korupsi yang 'tidak sesuai aturan'. Korupsi 'sesuai aturan' diartikan sebagai praktik suap untuk mendapatkan perlakuan khusus, sementara korupsi 'tidak sesuai aturan' merujuk pada tindakan menyuap pejabat tinggi secara tidak langsung untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau pelayanan yang tidak seharusnya diterima. Definisi ini memberikan kerangka kerja yang lebih spesifik untuk memahami beragam bentuk korupsi dan menunjukan bahwa TI memiliki pendekatan yang komprehensif terhadap masalah ini. Survey TI juga menunjukkan praktik korupsi, konflik kepentingan, dan upaya anti-korupsi yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara, menunjukkan bahwa masalah korupsi masih menjadi tantangan besar di banyak negara.
3. Peran TI Indonesia dalam Pemberantasan Korupsi
Transparansi Internasional Indonesia aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dokumen ini menyebutkan bahwa TI Indonesia telah mengumumkan hasil survei indeks persepsi korupsi dan menemukan peningkatan kesadaran di kalangan politisi lokal akan pentingnya melawan korupsi. Ketua TI Indonesia, Todung Mulya Lubis, turut di sebutkan sebagai tokoh kunci dalam upaya pemberantasan korupsi. TI Indonesia juga berperan dalam memberikan strategi pemberantasan korupsi, baik secara preventif maupun represif. Upaya preventif mencakup edukasi masyarakat, sementara upaya represif berfokus pada penegakan hukum. Ini memperlihatkan peran aktif TI Indonesia dalam upaya nasional melawan korupsi dan menunjukkan adanya peran penting dalam membangun kesadaran dan mendorong tindakan nyata.
III.Definisi dan Jenis Korupsi Definition and Types of Corruption
Skripsi ini menelaah berbagai definisi korupsi, termasuk definisi dari Transparansi Internasional. Diidentifikasi dua jenis korupsi: korupsi besar (grand corruption) yang dilakukan oleh pejabat tinggi dan melibatkan kebijakan publik; dan korupsi kecil (petty corruption) yang lebih sering terjadi di tingkat bawah. Skripsi ini juga mengkaji dampak korupsi terhadap pembangunan dan tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
1. Definisi Korupsi Perspektif Berbagai Sumber
Bagian ini membahas berbagai definisi korupsi dari beberapa perspektif. Secara harfiah, korupsi berasal dari bahasa Latin, 'corruptio-corrumpere', yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok. Huntington mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma masyarakat untuk kepentingan pribadi. Sementara itu, Dr. Kartini Kartono mendefinisikan korupsi sebagai tindakan individu yang menggunakan wewenang dan jabatan untuk keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan umum. Encyclopedia Americana menambahkan bahwa korupsi merupakan hal buruk dengan beragam arti, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa. Di Indonesia, korupsi sering dikaitkan dengan keuangan negara dan suap. Dari sudut pandang hukum, korupsi merupakan tindak pidana. Namun, definisi yang digunakan dalam penelitian ini menekankan perbuatan yang merugikan kepentingan publik demi keuntungan pribadi atau golongan. World Bank mendefinisikan korupsi secara sederhana sebagai penyalahgunaan kekuasaan jabatan pemerintahan untuk keuntungan pribadi, meski definisi ini memiliki kekurangan karena tidak mencakup korupsi di sektor swasta.
2. Karakteristik dan Praktik Korupsi
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa praktik korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang dan tidak hanya terjadi di kalangan pegawai negeri atau birokrasi pemerintah, tetapi juga di sektor swasta. Setiap tindakan korupsi mengandung unsur penipuan terhadap badan publik atau masyarakat umum, serta melanggar norma tugas dan tanggung jawab dalam tatanan masyarakat. Modus operandi korupsi seringkali berupa kolusi antara kekuatan ekonomi, politik, dan pengambil kebijakan publik. Contoh-contoh korupsi besar meliputi privatisasi aset negara yang tidak transparan dan adil, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, serta keringanan pajak dan biaya masuk untuk sektor dan kelompok tertentu. Meskipun upaya pemberantasan korupsi terus berjalan, prosesnya sangat lambat karena faktor teknis, konflik kepentingan, dan kurangnya komitmen politik. Sebaliknya, penciptaan korupsi baru berjalan sangat cepat dengan metode yang semakin kompleks dan sistemik.
3. Grand Corruption vs. Petty Corruption
Teks ini membedakan antara Grand Corruption (korupsi besar) dan Petty Corruption (korupsi kecil). Grand Corruption didefinisikan sebagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi yang berkaitan dengan kebijakan publik dan keputusan besar, termasuk di bidang ekonomi. Seringkali dikaitkan dengan 'corruption by greed' karena pelakunya biasanya sudah berkecukupan secara materiil. Petty Corruption, di sisi lain, lebih sering terjadi di negara-negara yang gagal dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang mensejahterakan rakyat. Meskipun korupsi dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan, kesalahan mendasar penyebab terjadinya korupsi kecil dalam birokrasi adalah belum adanya reformasi birokrasi yang memadai. Indonesia dinilai lebih rentan terhadap Grand Corruption karena melibatkan pejabat tinggi yang rawan melakukan korupsi, sehingga korupsi besar lebih mudah membudaya dibandingkan korupsi kecil yang dilakukan oleh kalangan bawah.
IV.Strategi Pemberantasan Korupsi Corruption Eradication Strategies
Pemberantasan korupsi membutuhkan strategi komprehensif yang melibatkan pendekatan preventif dan represif. Pendekatan preventif menekankan pada pendidikan anti-korupsi, peningkatan transparansi, dan penguatan kelembagaan. Pendekatan represif melibatkan penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap para pelaku korupsi. Peran Transparansi Internasional dalam hal ini sangat penting, dengan upaya-upaya seperti mendorong pakta integritas dan memperkuat peran lembaga legislatif.
1. Strategi Pencegahan Preventif
Pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan komprehensif, salah satunya adalah strategi pencegahan (preventif). Strategi ini menekankan pada upaya-upaya untuk mencegah terjadinya korupsi sejak awal. Dokumen tersebut menyinggung pentingnya pendidikan anti-korupsi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda, tentang dampak buruk korupsi. Pendidikan diharapkan dapat membentuk sikap anti-korupsi sejak dini, dan mengarahkan para pejabat agar bersikap lebih bertanggung jawab dan menghindari tindakan koruptif. Selain pendidikan, penelitian juga menyoroti pentingnya penguatan transparansi dan penguatan kelembagaan untuk menciptakan lingkungan yang kurang kondusif bagi praktik korupsi. Ini menunjukan bahwa pencegahan korupsi membutuhkan pendekatan multi-faceted yang melibatkan pendidikan, transparansi, dan tata kelola yang baik.
2. Strategi Penindakan Represif
Selain pencegahan, strategi penindakan (represif) juga penting dalam pemberantasan korupsi. Strategi ini berfokus pada penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku korupsi. Dokumen ini menyebutkan pentingnya proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang efektif dan efisien sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Diharapkan dengan adanya proses hukum yang berjalan dengan baik, pelaku korupsi dapat jera dan mendapatkan hukuman yang setimpal. Transparansi Internasional Indonesia menyarankan agar penanganan praktik korupsi diselesaikan melalui jalur hukum (meja hijau) untuk memberikan efek jera. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pada penegakan hukum yang kuat, konsisten, dan didukung oleh aparatur hukum yang jujur dan berani. Dukungan moral masyarakat juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan strategi represif ini.
3. Perlunya Solusi Komprehensif dan Jangka Panjang
Dokumen ini menyimpulkan bahwa upaya pemberantasan korupsi selama ini belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Upaya yang dilakukan masih terkotak-kotak dan belum komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan solusi komprehensif dan terintegrasi yang melibatkan berbagai aspek kehidupan dan dilaksanakan secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Pemberantasan korupsi membutuhkan perpaduan antara strategi preventif dan represif yang saling mendukung. Strategi preventif fokus pada pencegahan, sementara strategi represif fokus pada penindakan. Kinerja peradilan yang tidak efisien dan konsisten juga menjadi masalah yang perlu diatasi. Ini menyiratkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada regulasi hukum, namun juga pada komitmen politik dan dukungan masyarakat secara luas.
V.Metodologi Penelitian Research Methodology
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, menganalisis data dari berbagai sumber literatur, media massa, jurnal dan internet untuk mengeksplorasi peran Transparansi Internasional dalam memberantas korupsi di Indonesia selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Analisis data bersifat induktif, berfokus pada peran Transparansi Internasional dalam strategi preventif dan represif untuk mengatasi masalah korupsi.
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dipilih karena penelitian ini berfokus pada penggambaran fenomena korupsi di Indonesia dan peran Transparansi Internasional dalam penanganannya. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memahami makna dan realitas kompleks yang ada terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Penelitian deskriptif, menurut Sanapiah Faisal, bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasikan peristiwa atau kenyataan sosial dengan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini bersifat induktif, bergerak dari data spesifik menuju generalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mendalam tentang peran Transparansi Internasional dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur. Sumber data diperoleh dari berbagai literatur, termasuk buku, media massa, jurnal ilmiah (khususnya Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional), dan internet. Buku-buku yang dirujuk antara lain 'Korupsi Mengorupsi Indonesia', 'Strategi Pemberantasan Korupsi', dan 'Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional'. Semua sumber data ini digunakan untuk menelusuri upaya dan peran Transparansi Internasional dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pilihan teknik ini menunjukan bahwa penelitian ini bergantung pada analisis data sekunder yang telah ada dan terdokumentasi.
3. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data. Proses analisis data meliputi pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar untuk menentukan tema dan merumuskan hipotesis kerja. Analisis data yang digunakan bersifat kualitatif, bertujuan untuk memperoleh pemahaman makna, menggambarkan realitas kompleks, dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada. Analisis kualitatif dipilih untuk memahami nuansa dan konteks peran Transparansi Internasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tujuan akhir analisis ini adalah untuk memahami peran Transparansi Internasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membatasi ruang lingkupnya pada periode tahun 2004-2009, yaitu masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pembatasan waktu ini dilakukan untuk memberikan fokus kajian yang lebih spesifik. Materi penelitian dibatasi pada peran Transparansi Internasional dalam memberantas korupsi di Indonesia selama periode tersebut. Dengan demikian, penelitian ini terfokus pada satu periode pemerintahan spesifik untuk memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap peran Transparansi Internasional dalam konteks politik dan sosial tertentu.