Pelestarian Kesenian Budaya di Kabupaten Malang

Pelestarian Kesenian Budaya di Kabupaten Malang

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 246.59 KB
  • pelestarian budaya
  • kesenian tradisional
  • seni rupa dan suara

Ringkasan

I.Tantangan dan Peluang Pelestarian Wayang Topeng Malangan

Pelestarian kesenian budaya di Indonesia, khususnya Wayang Topeng Malangan, menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Namun, hal ini juga membuka peluang untuk pengembangan konseptual. Pelestarian kesenian budaya sangat penting dalam membentuk karakter bangsa dan mewujudkan masyarakat madani. Keberadaan kesenian tradisional seperti Wayang Topeng Malangan menjadi bukti nyata keanekaragaman budaya Indonesia. Perkembangannya yang dinamis, meskipun terkadang mengalami kemunduran, menunjukkan evolusi kesenian yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

1. Tantangan Pelestarian Kesenian Budaya

Dokumen ini mengawali pembahasan dengan menekankan bahwa pelestarian kesenian budaya, secara umum, menghadapi tantangan yang semakin besar. Namun, di samping tantangan tersebut, terdapat peluang untuk disikapi secara konsepsional dan strategis. Keberadaan kesenian budaya lokal dinilai sangat penting untuk membangun karakter bangsa yang berbudaya, serta menjadi elemen kunci dalam mewujudkan masyarakat madani. Lebih lanjut, dokumen menjelaskan bahwa syarat utama pelestarian kesenian adalah keberadaan bentuk budaya yang nyata, artinya kesenian yang dilestarikan harus masih ada dan dikenal masyarakat, meski mungkin sudah mulai terkikis atau terlupakan. Melalui pelestarian kesenian budaya lokal, keanekaragaman budaya Indonesia dapat diukur dari banyaknya jenis kesenian yang dimiliki. Ini menyoroti pentingnya upaya pelestarian untuk menjaga keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia.

2. Dinamika dan Evolusi Kesenian

Kesenian yang maju dan dinamis, menurut dokumen, akan terus berkembang dan selalu bergerak. Jika ada kesenian yang tampak kurang dinamis, hal ini dijelaskan sebagai sebuah proses evolusi spiral yang melibatkan para pelaku kesenian. Kesenian tidak statis; ia selalu tumbuh dan berkembang mengikuti kebutuhan dan tuntutan perkembangan zaman. Dokumen kemudian mengkaji dua ruang lingkup seni yang berkembang pesat, yaitu seni rupa dan seni suara. Seni rupa meliputi seni arsitektur bangunan, seni rias (terutama kebaya, batik, dan lurik yang telah menjadi kebudayaan nasional), serta seni kerajinan (kulit atau topeng wayang). Sementara itu, seni suara di Malang mencakup seni vokal dan instrumental (karawitan dan macapat) yang sering dipadukan dengan seni tari. Ini menunjukkan kompleksitas dan multidimensi dari kesenian budaya yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestariannya.

3. Kesenian Budaya sebagai Simbol Kemajemukan

Dokumen menjabarkan pandangan tentang kesenian budaya sebagai representasi kemajemukan. Kesenian tidak hanya berfungsi sebagai ikon, tetapi juga merefleksikan berbagai gesekan budaya yang terjadi sejak masa lalu. Kabupaten Malang, sebagai kota pelajar dan pariwisata, dikenal kaya akan seni dan budaya. Sebagai contoh, keberadaan Tari Topeng di masa Kerajaan Singosari dibuktikan melalui relief pada candi-candi peninggalan kerajaan tersebut. Relief tersebut menggambarkan suasana di dalam kerajaan dengan penari topeng yang mengenakan atribut seperti endhong (sayap belakang), rapek (hiasan di depan celana), bara-bara, dan irah-irahan (mahkota), yang serupa dengan kostum Tari Topeng masa kini. Ini menggarisbawahi akar sejarah yang panjang dan kaya dari kesenian tersebut. Blambangan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi), sebagai sisa budaya Majapahit di lereng Gunung Bromo-Semeru, menunjukkan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali yang tercermin dalam musik dan gerakan tari topeng. Ini memperkaya dinamika dan kekayaan budaya dalam kesenian tersebut.

4. Peluang Pengembangan Konseptual Pelestarian

Meskipun menghadapi tantangan, dokumen menyoroti potensi pengembangan konseptual dalam pelestarian kesenian. Dengan melihat sejarah panjangnya, seperti keberadaan Tari Topeng yang muncul pada awal abad ke-20 dan berkembang luas semasa perang kemerdekaan, terlihat potensi untuk revitalisasi. Almarhum Mbah Karimun, sebagai sesepuh yang memiliki keterampilan memainkan Tari Topeng, menciptakan model-model topeng dan menceritakan kembali hikayat yang telah berusia ratusan tahun, menunjukkan warisan budaya yang berharga. Namun, sejumlah komunitas Tari Topeng di Malang yang dulunya mencapai 11 komunitas, kini hanya tersisa beberapa yang aktif. Pergeseran budaya dari Hindu-Jawa ke Islam dan kurangnya perhatian pemerintah di masa lalu menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran ini. Kedungmonggo, yang dikembangkan oleh Mbah Karimun, menjadi salah satu komunitas yang masih eksis, menunjukkan pentingnya peran individu dalam pelestarian budaya. Warisan Mbah Karimun diteruskan secara turun temurun, mulai dari Mbah Serun hingga Mas Handoyo, menunjukkan keberlanjutan tradisi yang bisa dikembangkan lebih luas. Perhatian dan pembinaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang saat ini diharapkan dapat meningkatkan mutu kesenian dan menjamin keberlanjutannya.

II.Bentuk dan Perkembangan Wayang Topeng Malangan

Seni rupa dalam Wayang Topeng Malangan meliputi seni arsitektur, seni rias (terutama kebaya, batik, dan lurik), dan seni kerajinan (topeng, wayang kulit). Seni suara meliputi seni vokal dan instrumental (karawitan dan macapat) yang sering dipadukan dengan tari. Wayang Topeng Malangan memiliki akar budaya yang kaya, meliputi pengaruh dari etnis Jawa, Madura, dan Bali, terlihat dari penggunaan alat musik seperti sitar Jawa, seruling Madura, dan karawitan model Blambangan. Tari Topeng diperkirakan muncul pada awal abad ke-20 dan berkembang pesat selama masa perang kemerdekaan. Almarhum Mbah Karimun merupakan tokoh kunci dalam pelestarian Wayang Topeng Malangan di Kedungmonggo, Malang, mewariskan keahliannya membuat topeng dan melestarikan kisah-kisah bersejarah hingga ke generasi penerusnya, seperti Mas Handoyo.

1. Aspek Seni Rupa Wayang Topeng Malangan

Wayang Topeng Malangan memiliki kekayaan dalam seni rupa. Elemen seni arsitektural terlihat dalam bangunan-bangunan yang terkait dengan pertunjukannya. Seni rias juga memegang peranan penting, terutama penggunaan kebaya, batik, dan lurik yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Seni kerajinan juga tampak jelas dalam pembuatan topeng dan wayang kulit itu sendiri, menunjukkan keahlian tangan para pengrajin. Bahan-bahan yang digunakan mungkin beragam, mulai dari kayu hingga logam, mencerminkan kreativitas dan adaptasi terhadap sumber daya lokal. Detail-detail desain pada topeng dan kostum mencerminkan kekayaan estetika dan simbolisme budaya yang melekat pada Wayang Topeng Malangan. Penggunaan warna, motif, dan teknik pembuatan topeng yang beragam juga mencerminkan keberagaman budaya yang mempengaruhi seni pertunjukan ini.

2. Aspek Seni Suara Wayang Topeng Malangan

Selain seni rupa, seni suara juga merupakan bagian integral dari Wayang Topeng Malangan. Seni vokal dan instrumental berperan penting dalam menciptakan atmosfer dan nuansa pertunjukan. Karawitan dan macapat, sebagai bentuk musik tradisional Jawa, memberikan iringan musik yang khas. Perpaduan seni suara dan tari menciptakan harmoni dan keindahan tersendiri. Penggunaan alat musik tradisional, seperti sitar Jawa dan seruling Madura (yang mirip dengan terompet Ponorogo), menunjukkan pengaruh berbagai etnis dalam perkembangan Wayang Topeng Malangan. Kombinasi ini membentuk karakteristik unik dari musik pengiring Wayang Topeng Malangan yang membedakannya dari jenis kesenian lain. Variasi irama dan melodi yang dihasilkan menunjukkan kompleksitas seni suara dalam pertunjukan ini.

3. Akar Budaya dan Pengaruhnya

Wayang Topeng Malangan memiliki akar budaya yang kaya dan kompleks. Pengaruh budaya Majapahit, terlihat pada sisa-sisa budaya di Blambangan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi), bercampur dengan unsur budaya Jawa, Madura, dan Bali. Hal ini terlihat dari penggunaan alat musik dan gaya tari yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai etnis tersebut. Perpaduan budaya ini menghasilkan kekayaan dinamis dan unik dalam musik dan gerakan tari. Contohnya, penggunaan sitar Jawa, seruling Madura, dan karawitan model Blambangan menunjukkan percampuran yang harmonis. Pengaruh budaya ini bukan hanya sekedar pencampuran, tetapi juga menghasilkan sebuah bentuk kesenian baru yang mencerminkan kekayaan budaya di wilayah tersebut. Ini menunjukkan proses akulturasi budaya yang menghasilkan bentuk seni yang dinamis dan beradaptasi dengan lingkungannya.

4. Perkembangan dan Tokoh Penting Mbah Karimun

Wayang Topeng diperkirakan muncul pada awal abad ke-20 dan mengalami perkembangan pesat selama masa perang kemerdekaan. Almarhum Mbah Karimun dari Kedungmonggo memainkan peran penting dalam perkembangan dan pelestarian Wayang Topeng Malangan. Bukan hanya sebagai penari ulung, beliau juga menciptakan berbagai model topeng dan melestarikan hikayat yang telah berusia ratusan tahun. Keahliannya kemudian diwariskan kepada penerusnya, menunjukkan keberlanjutan tradisi. Mas Handoyo, salah satu penerusnya, saat ini meneruskan usaha kerajinan topeng dengan dibantu beberapa pengrajin lainnya. Kisah Mbah Karimun yang belajar membuat topeng secara otodidak sejak usia 14 tahun menginspirasi dan menunjukkan semangat pelestarian budaya secara mandiri. Warisan Mbah Karimun dan penerusnya, seperti Mas Handoyo, menunjukkan pentingnya peran individu dalam menjaga kelangsungan Wayang Topeng Malangan.

III.Sejarah dan Kemunduran Wayang Topeng Malangan

Dulunya, terdapat lebih dari 11 komunitas yang melestarikan kesenian tradisionalWayang Topeng Malangan di Malang. Namun, pergantian budaya dari Hindu-Jawa ke Islam, serta kurangnya perhatian dan pembinaan, menyebabkan kemunduran sejumlah komunitas. Saat ini, hanya sedikit komunitas yang masih aktif, salah satunya di Kedungmonggo yang dipimpin oleh penerus Mbah Karimun. Eksistensi Wayang Topeng Kedungmonggo berlangsung turun-temurun sejak sekitar tahun 1897.

1. Kejayaan dan Penyebaran Wayang Topeng Malangan

Dahulu, kesenian Wayang Topeng Malangan sangat berkembang di Kabupaten Malang. Terdapat lebih dari 11 komunitas yang aktif melestarikan seni tradisional ini, tersebar di berbagai desa seperti Ta miajeng, Nduwet, Precet, Pucangsongo, Wangkal, Gubuklakah, Jambesari, Jedungmonggo, Jabung, Glagahdowo, dan Karangpandan. Keberadaan komunitas-komunitas ini menunjukkan popularitas dan peran penting Wayang Topeng Malangan dalam kehidupan masyarakat. Namun, dokumentasi sejarahnya kurang tercatat secara detail, sehingga sulit untuk melacak perkembangannya secara menyeluruh. Meskipun kurangnya dokumentasi, jejak sejarah Wayang Topeng Malangan dapat ditelusuri melalui relief di beberapa candi peninggalan Kerajaan Singosari, yang menggambarkan tarian bertopeng dengan atribut kostum yang mirip dengan kostum Tari Topeng masa kini. Ini menunjukkan akar sejarah yang panjang dan peran pentingnya dalam kehidupan kerajaan pada masa itu.

2. Faktor faktor Kemunduran

Meskipun memiliki akar sejarah yang kuat, Wayang Topeng Malangan mengalami kemunduran. Perubahan besar dalam sejarah, seperti pergeseran budaya dari Hindu-Jawa ke Islam, menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran eksistensi kesenian ini di tanah Jawa, termasuk di Malang. Kurangnya organisasi dan struktur yang baik di komunitas-komunitas Wayang Topeng di masa lalu juga menjadi faktor penghambat. Sebelum adanya perhatian dan pembinaan dari pemerintah, perkumpulan topeng Malangan di desa-desa tidak terorganisir dengan baik, sehingga perkembangan seni dan kualitasnya kurang maksimal. Akibatnya, kesenian Wayang Topeng Malangan kurang mendapat perhatian, pembinaan, dan fasilitas khusus. Ini mengakibatkan menurunnya kualitas pertunjukan dan semakin sedikitnya minat masyarakat untuk melestarikan seni tersebut. Kini, hanya tersisa beberapa komunitas yang masih aktif, dan banyak yang terdesak oleh tontonan modern yang lebih diminati masyarakat.

3. Kedungmonggo Pusat Pelestarian Wayang Topeng Malangan

Di tengah kemunduran tersebut, Kedungmonggo muncul sebagai salah satu pusat pelestarian Wayang Topeng Malangan yang masih eksis. Tradisi ini dipertahankan secara turun-temurun sejak akhir abad ke-18, sekitar tahun 1897, dimulai dari Mbah Serun yang berguru kepada seorang Gurawan asal Bangelan. Ilmu tersebut kemudian diwariskan kepada Mbah Karimun, lalu kepada Taslan (anak pertama Mbah Karimun), dan kemudian kepada Suroso (putra pertama Taslan) dan Handoyo (putra ketiga Taslan). Mbah Karimun, sebagai maestro Wayang Topeng Malangan, tidak hanya mahir memainkan tari ini, tetapi juga menciptakan berbagai model topeng dan melestarikan hikayat yang sudah berumur ratusan tahun. Eksistensi Wayang Topeng Kedungmonggo hingga saat ini menunjukkan pentingnya pewarisan tradisi secara turun-temurun dalam menjaga kelangsungan kesenian tradisional. Peran Mbah Karimun dan penerusnya sangat krusial dalam mempertahankan Wayang Topeng Malangan dari ancaman kepunahan.

IV.Kebijakan Pemerintah dan Pelestarian Wayang Topeng Malangan

Perhatian pemerintah terhadap pelestarian kesenian budaya lokal, termasuk Wayang Topeng Malangan, meningkat. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang memberikan bantuan, mengadakan pameran, festival, dan lomba untuk meningkatkan mutu dan popularitas Wayang Topeng Malangan. Meskipun demikian, tantangan tetap ada, seperti terbatasnya anggaran dan persaingan dengan hiburan modern. Regulasi seperti UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Surat Keputusan Bupati Malang No.180/696/KEP/421.013/2012 mendukung program pembinaan kesenian budaya. Globalisasi, reformasi, dan desentralisasi juga memengaruhi upaya pelestarian Wayang Topeng Malangan.

1. Peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang memegang peran penting dalam pelestarian Wayang Topeng Malangan. Upaya pelestarian dilakukan melalui pengelolaan dan pembinaan dengan memberikan bantuan kepada para pelaku seni. Selain itu, Dinas tersebut juga aktif mengembangkan Wayang Topeng Malangan melalui pameran, festival, lomba, dan pertunjukan baik di tingkat lokal (Malang Raya) maupun internasional. Partisipasi dalam even-even kesenian tradisional tingkat nasional dan internasional, seperti pertunjukan di Thailand pada Maret 2013, menunjukkan komitmen untuk mempromosikan Wayang Topeng Malangan ke kancah yang lebih luas. Pertunjukan rutin di padepokan Asmoro Bangun yang dipimpin oleh Bapak Handoyo, juga menunjukkan upaya berkelanjutan untuk menjaga eksistensi Wayang Topeng Malangan. Namun, intensitas pertunjukan masih terbatas karena keterbatasan anggaran, menunjukkan adanya tantangan dalam upaya maksimalisasi program pembinaan.

2. Dukungan Regulasi dan Kebijakan Pemerintah

Kerangka regulasi dan kebijakan pemerintah turut mendukung upaya pelestarian Wayang Topeng Malangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Keputusan Bupati Malang No.180/696/KEP/421.013/2012 tentang penetapan penerimaan belanja hibah bidang kesenian dan budaya tahun anggaran 2012 menjadi landasan hukum bagi program pembinaan yang dilakukan pemerintah. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang bertanggung jawab atas pengawasan administratif dan teknis atas pemberian belanja hibah tersebut. Ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah daerah untuk mendukung pelestarian kesenian lokal. Namun, perlu dicatat bahwa hanya beberapa kelompok Wayang Topeng yang masih bertahan, sementara banyak yang tergeser oleh tontonan modern. Kekhawatiran akan kepunahan Wayang Topeng Malangan muncul di tengah situasi ini, menunjukkan perlunya upaya yang lebih intensif dan berkelanjutan.

3. Tantangan Globalisasi dan Perkembangan Zaman

Pelestarian Wayang Topeng Malangan tidak dapat dipisahkan dari konteks globalisasi, reformasi, dan desentralisasi. Arus globalisasi yang bersifat multidimensi membawa dampak perubahan terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi, yang muncul sebagai respons terhadap pemerintahan otoriter, mempengaruhi penyaluran aspirasi rakyat, termasuk dalam sektor kebudayaan. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi juga berdampak pada pengelolaan dan pembinaan kesenian lokal. Tantangan ini memerlukan strategi yang tepat agar Wayang Topeng Malangan tetap relevan dan diminati di tengah perubahan sosial dan budaya yang cepat. Upaya pelestarian harus mampu beradaptasi dan berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalamnya.

V.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menggambarkan dan menjelaskan kebijakan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap pelestarian Wayang Topeng Malangan. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, Mas Handoyo (penerus seni Wayang Topeng di Sanggar Asmoro Bangun), dan studi dokumentasi.

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran seteliti mungkin tentang suatu fenomena budaya, keadaan, atau gejala-gejalanya. Dalam konteks penelitian ini, penelitian deskriptif kualitatif digunakan untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai kebijakan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap pelaku kesenian budaya Wayang Topeng Malangan. Penelitian ini berbasis pada fakta-fakta yang tampak di masyarakat saat ini, sejalan dengan permasalahan yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk mempertegas hipotesis, memperkuat teori-teori lama, atau bahkan menyusun teori-teori baru terkait dengan fenomena yang dikaji. Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin mengungkap secara detail kebijakan dan dampaknya terhadap pelestarian Wayang Topeng Malangan.

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari dua sumber utama: data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan dapat dipercaya sebagai sumber informasi. Wawancara terstruktur ini menggunakan draft pertanyaan yang terperinci untuk memastikan data yang dikumpulkan tetap relevan dengan fokus penelitian. Pemilihan narasumber didasarkan pada kualitas dan akurasi informasi yang diberikan. Data primer juga digunakan untuk memperkuat dan melengkapi data sekunder. Sumber data sekunder meliputi buku-buku, internet, arsip, majalah, dan foto-foto dokumentasi benda-benda Wayang Topeng Malangan. Data sekunder ini berfungsi sebagai data pelengkap dan konteks untuk memperkaya analisis data primer. Teknik dokumentasi juga digunakan untuk mengumpulkan data dari arsip, buku, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan penelitian.

3. Subjek Penelitian dan Analisis Data

Subjek penelitian meliputi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang, Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, dan penerus kesenian Wayang Topeng Malangan di Sanggar Seni Topeng Asmoro Bangun yang dipimpin oleh Bapak Handoyo. Ketiga subjek ini dipilih karena dianggap memiliki informasi yang lengkap dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Analisis data dilakukan melalui tiga tahapan utama: reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data. Analisis dilakukan secara normatif melalui studi literatur dan bersifat kualitatif dalam bentuk deskripsi. Sajian data dilakukan dalam bentuk narasi, gambar, atau skema untuk memudahkan pemahaman. Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan setelah seluruh proses pengumpulan data selesai, dengan mempertimbangkan seluruh data yang telah direduksi dan disajikan. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap, peneliti dapat melakukan pengumpulan data tambahan untuk memperkuat kesimpulan yang telah diperoleh.