
Keunikan Aceh dalam Penerapan Syariat Islam dan Perjuangan Kemerdekaan
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 273.19 KB |
- Aceh
- Syariat Islam
- Sejarah Perjuangan
Ringkasan
I.Keunikan Pemerintahan Aceh dan Penerapan Syariat Islam
Aceh, sebagai provinsi di ujung barat Indonesia, memiliki keunikan dalam sistem pemerintahannya yang berbasis Syariat Islam. Sejak Kerajaan Aceh Darussalam, Islam telah menjadi ideologi negara, dengan struktur pemerintahan yang terinspirasi dari kerajaan-kerajaan Islam Timur Tengah. Lembaga-lembaga negara seperti wazir (menteri), qadhi maikul adil (Kepala Mahkamah Agung), dan baitul mal (kas negara) mencerminkan hal ini. Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh) menjadi landasan hukumnya, bersumber pada Al-Qur'an, Hadits, Ijma' ulama, dan Qiyas. Keunikan Aceh juga terlihat dalam tata pembagian kekuasaan, dengan struktur pemerintahan yang terdiri dari Gampong (dipimpin Geuchik/Keuchik), Mukim (Imuem Mukim), Nanggroe (Ulee balang), Sagoe (Panglima Sagoe), dan Kerajaan (Sultan).
1.1. Penerapan Syariat Islam sebagai Ideologi Negara Aceh
Sejak berdirinya Kerajaan Aceh, Syariat Islam telah menjadi pondasi sosial dan politik yang kuat. Hal ini terlihat jelas pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di mana sistem pemerintahannya mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Penggunaan istilah-istilah pemerintahan dari Timur Tengah juga diadopsi, seperti wazir untuk menteri, qadhi maikul adil untuk Kepala Mahkamah Agung, wazir dirham untuk menteri keuangan, dan baitul mal untuk kas negara. Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh) menunjukkan bahwa Al-Qur'an, Hadits, Ijma' ulama, dan Qiyas menjadi sumber hukum utama. Keunikan ini membedakan Aceh dari wilayah lain di Indonesia dan dunia, menunjukkan kekentalan peradaban Islam di Aceh sejak masa lalu. Presiden Soekarno, dalam kunjungannya ke Aceh, bahkan bersumpah untuk memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai Syariat Islam, mengakui jasa dan perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pengakuan terhadap keistimewaan dan kearifan lokal Aceh melalui UUD 1945.
1.2. Keunikan Aceh dalam Tata Pemerintahan dan Perjuangan Kemerdekaan
Aceh memiliki sistem pemerintahan unik dengan pembagian kekuasaan yang khas. Wilayah kerajaan Aceh terbagi atas beberapa tingkatan pemerintahan, dari Gampong yang dipimpin oleh Geuchik/Keuchik, Mukim dipimpin Imuem Mukim, Nanggroe dipimpin Ulee Balang, Sagoe dipimpin Panglima Sagoe, hingga tingkat Kerajaan yang dipimpin Sultan. Keunikan Aceh juga terlihat dalam perannya selama perjuangan kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai penjajah Belanda, menjadikannya ‘daerah modal’ bagi perjuangan kemerdekaan nasional. Bahkan, setelah kemerdekaan, Aceh memberikan kontribusi besar dengan membelikan dua pesawat Dakota (Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002) dan satu Avro Anson RI-004 dari Thailand untuk pemerintah RI, menunjukkan semangat patriotisme dan kesetiaan yang tinggi terhadap Indonesia. Semua ini menunjukkan keunikan Aceh yang tak hanya dalam penerapan Syariat Islam, tetapi juga dalam sejarah perjuangan dan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia.
II.Peran dan Kedudukan Mukim dalam Pemerintahan Aceh
Studi ini meneliti relasi pemerintahan Mukim dan Gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Aceh. Mukim, sebagai kesatuan masyarakat hukum di Aceh, memiliki peran penting dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk prosesi shalat Jumat, hukum adat, dan pemanfaatan tanah (tanah Potallah). Meskipun sempat mengalami kemerosotan peran pasca UU No. 5 Tahun 1979, kedudukan Mukim diakui kembali melalui UU No. 18 Tahun 2001 dan diperkuat oleh Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh semakin mengukuhkan otonomi khusus Aceh, termasuk peran Mukim dan Gampong. Imeum Mukim sebagai pemimpin Mukim memiliki tanggung jawab yang signifikan dalam pemerintahan lokal.
2.1. Fungsi dan Kewenangan Mukim Sebelum dan Sesudah UU No. 5 Tahun 1979
Sebelum berlakunya UU No. 5 Tahun 1979, Mukim di Aceh memiliki peran penting dan diakui secara administratif maupun adat. Mukim berperan dalam menyelesaikan sengketa antar masyarakat dan antar Gampong, mengatur pemanfaatan kawasan bersama seperti padang meurabe (area penggembalaan), gle (hutan), dan blang (sawah), serta mengurusi masalah hukum, agama, warisan, pernikahan, perceraian, rujuk, dan harta umat (wakaf). Para pemimpin Mukim dan Gampong harus memahami Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ untuk memimpin wilayahnya, menunjukkan pengaruh kuat Syariat Islam dalam pemerintahan Mukim. Pengelolaan tanah Potallah (tanah milik Allah) juga menunjukkan sistem yang unik dan berdasarkan kearifan lokal. Namun, UU No. 5 Tahun 1979 menyamaratakan struktur pemerintahan, mengakibatkan kemerosotan peran Mukim. Keberadaan Mukim menjadi tidak jelas secara legalitas dan administratif, hanya bersifat seremonial di tingkat kecamatan. Meskipun demikian, Mukim tetap diakui secara sosiologis oleh masyarakat Aceh.
2.2. Pengakuan Kembali dan Penguatan Kedudukan Mukim
Setelah runtuhnya Orde Baru, eksistensi Mukim diakui kembali. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendefinisikan Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum yang terdiri dari beberapa Gampong. Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam semakin memperkuat kedudukan dan fungsi Mukim sebagai lembaga penting di Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga menegaskan kembali keberadaan Mukim dalam struktur pemerintahan Aceh. Pasal 114 BAB XV Mukim dan Gampong menjelaskan pembentukan Mukim, kepemimpinan Imeum Mukim, masa jabatan, dan pengaturan lebih lanjut melalui qanun kabupaten/kota dan Qanun Aceh. Dengan demikian, keberadaan Mukim yang sebelumnya lebih bersifat seremonial, diakui kembali secara formal dan memiliki kewenangan yang jelas dalam pemerintahan daerah, merupakan bagian penting dari otonomi khusus Aceh.
III.Pemerintahan Gampong dan Relasinya dengan Mukim
Gampong (desa) merupakan unit pemerintahan terkecil di Aceh, berada di bawah Mukim. Dipimpin oleh Geuchik/Keuchik dan dibantu Teungku Meunasah (pemimpin keagamaan), Gampong menjalankan urusan pemerintahan dan adat. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong menegaskan kedudukan dan kewenangannya. Relasi antara Mukim dan Gampong sangat penting untuk pelaksanaan pemerintahan daerah dan otonomi khusus Aceh. Studi kasus di Mukim Meuko (Kabupaten Aceh Barat) dan Mukim Meuraxa (Kota Banda Aceh) menunjukkan pentingnya hubungan yang harmonis antara kedua lembaga ini untuk terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
3.1. Struktur dan Fungsi Pemerintahan Gampong
Gampong, sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan Aceh, terdiri dari kelompok rumah yang berdekatan. Dipimpin oleh Geuchik atau Keuchik, dibantu oleh Teungku Meunasah (pemimpin agama yang ahli dalam masalah keagamaan). Gampong berada di bawah pemerintahan Mukim. UU No. 44/1999 menjelaskan kesamaan fungsi dan wewenang Gampong dengan desa di luar Aceh, dengan tambahan urusan adat sebagai bagian penting dari kinerja pemerintahan Gampong. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menetapkan Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat, memiliki wilayah kekuasaan sendiri dan sumber pendapatan sendiri. Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 Tahun 2003 menegaskan Gampong berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Pasal 10 dan 11 Qanun yang sama menjelaskan struktur pemerintahan Gampong yang terdiri dari Geuchik (kepala eksekutif), Imeum Meunasah, dan perangkat Gampong, mendukung sistem demokrasi bottom-up di Aceh. Posisi Imeum Meunasah setara dengan Geuchik meskipun dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda.
3.2. Relasi Mukim dan Gampong dalam Pemerintahan Aceh
Hubungan antara Mukim dan Gampong sangat krusial bagi keberhasilan pemerintahan daerah dan penguatan otonomi khusus Aceh. Qanun No. 3/2003 dan Qanun No. 4/2003 menegaskan bahwa Gampong berada di bawah Mukim, bukan lagi di bawah kecamatan. Camat berperan dalam pembinaan pemerintahan Mukim dan Gampong. Mukim Meuko (Kabupaten Aceh Barat) dan Mukim Meuraxa (Kota Banda Aceh) menjadi contoh studi kasus dalam relasi ini. Meskipun secara teoritis relasi ini mendukung desentralisasi dan otonomi khusus, pelaksanaannya mengalami kesulitan. Beberapa kendala yang dihadapi meliputi: kurangnya aturan pelaksana yang mantap dan kompeten, birokrasi yang berbelit-belit, dan rendahnya pemahaman tentang good governance di tingkat Mukim dan Gampong. Ketiga hal tersebut dapat menghambat kinerja pemerintahan dan penguatan otonomi khusus Aceh.
IV.Tantangan dan Rekomendasi
Meskipun terdapat aturan hukum yang mendukung keberadaan dan peran Mukim dan Gampong, beberapa tantangan masih dihadapi. Tantangan tersebut meliputi: sistem birokrasi yang berbelit-belit, kurangnya aturan pelaksana yang mantap, dan rendahnya pemahaman tentang good governance di tingkat Mukim dan Gampong. Penelitian ini memberikan rekomendasi praktis untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan daerah di Aceh, khususnya dalam konteks relasi Mukim dan Gampong, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Aceh.
4.1. Tantangan dalam Relasi Mukim dan Gampong
Meskipun terdapat regulasi yang mendukung keberadaan Mukim dan Gampong dalam sistem pemerintahan Aceh, terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan relasi yang efektif di antara keduanya. Studi kasus di Mukim Meuko (Aceh Barat) dan Mukim Meuraxa (Banda Aceh) menunjukkan adanya hambatan dalam pelaksanaan pemerintahan. Pertama, secara teoritis, penelitian ini mencoba mengembangkan teori dan gagasan pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai wujud desentralisasi dan otonomi khusus, tetapi penerapan di lapangan masih menghadapi kendala. Kedua, kekurangan aturan pelaksana yang mantap dan kompeten menyulitkan proses relasi antara Mukim dan Gampong. Ketiga, birokrasi yang berbelit-belit, sisa sistem sentralistis, mengakibatkan sistem administrasi yang panjang dan lambat, sehingga pelaksanaan pemerintahan di masyarakat tidak tepat sasaran. Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan Mukim dan Gampong masih rendah. Pemahaman tentang good governance masih kurang, mengakibatkan sistem pemerintahan yang dijalankan tidak maksimal. Kurangnya pemahaman dalam membuat regulasi juga membuat Mukim tidak berperan penting dalam merumuskan urusan pemerintahan di tingkat lokal.
4.2. Rekomendasi untuk Penguatan Relasi Mukim dan Gampong
Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini berkontribusi pada pengembangan teori dan gagasan pelaksanaan pemerintahan daerah di Aceh, khususnya mengenai relasi antara Mukim dan Gampong. Secara praktis, penelitian ini menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan pelaksanaan pemerintahan daerah, khususnya bagi birokrasi dan pemerintahan Mukim dan Gampong. Rekomendasi ini bertujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih tertata dan terstruktur di Provinsi Aceh. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang tata laksana pemerintahan Mukim dan Gampong, sehingga masyarakat dapat mendukung pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan. Penelitian ini menitikberatkan pada hubungan antara dua lembaga pemerintahan tersebut, yaitu Mukim dan Gampong. Penguatan relasi ini diharapkan dapat menjadi contoh baik untuk pengembangan sistem pemerintahan di Aceh ke depannya.