
Kebangkitan China dan Dinamika Politik Internasional
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 446.00 KB |
Jurusan | Hubungan Internasional/Studi Strategis |
Jenis dokumen | Bab Pendahuluan dari Skripsi/Tesis |
- Kebangkitan China
- Politik Internasional
- Studi Kawasan Asia Timur
Ringkasan
I.Kebangkitan China dan Hegemoni Regional di Asia Timur Pasca Perang Dingin
Dokumen ini menganalisis perilaku China sebagai great power di Asia Timur pasca Perang Dingin melalui lensa realisme ofensif Mearsheimer. Berakhirnya Perang Dingin dan munculnya AS sebagai hegemon di belahan bumi barat menciptakan dinamika baru. Kebangkitan ekonomi dan militer China yang pesat, diiringi dengan nasionalisme yang kuat, mendorong ambisi China untuk mencapai hegemoni regional. Studi ini meneliti bagaimana China, dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi dan militer yang dimilikinya, berupaya mengamankan kepentingannya, termasuk sengketa di Laut China Selatan, Taiwan, dan Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Penelitian ini juga membahas strategi China seperti blackmail dan bloodletting dalam mencapai tujuan hegemoninya, serta peran AS sebagai intrusive system yang berpengaruh besar di Asia Timur.
1. Perubahan Dinamika Kekuatan Global dan Fokus pada Asia Timur
Bagian ini menjelaskan perubahan lanskap politik internasional pasca Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin dan mundurnya Uni Soviet meninggalkan Amerika Serikat sebagai hegemon tunggal di belahan barat. Munculnya kekuatan-kekuatan baru dan meredupnya kekuatan-kekuatan lama mewarnai politik internasional. Situasi ini meningkatkan perhatian terhadap kajian kawasan, khususnya Asia Timur. Kerusakan Jepang pasca Perang Dunia II dan Perjanjian San Francisco tahun 1951 yang membatasi kemampuan militer Jepang, serta peningkatan peran AS dalam menjaga stabilitas kawasan melalui penempatan basis militer di Okinawa, diuraikan secara detail. Perpecahan Semenanjung Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan sebagai dampak persaingan AS-Uni Soviet juga dijelaskan. Begitu pula dengan dampak penjajahan terhadap China yang menyebabkan perpecahan wilayah menjadi Hong Kong, Makau, dan Taiwan. Runtuhnya Uni Soviet mengakhiri Perang Dingin, dengan penarikan pasukan Soviet dari Asia Timur, sementara AS mempertahankan kehadiran militernya di kawasan tersebut. China kemudian berhasil mengambil alih kembali Hong Kong dan Makau, namun sengketa atas Taiwan masih berlanjut. Kuatnya AS dan melemahnya Jepang menciptakan ruang bagi kebangkitan China sebagai kekuatan dominan di Asia Timur.
2. Kebangkitan Ekonomi dan Militer China sebagai Pendorong Hegemoni
Bagian ini menekankan pada kebangkitan ekonomi China yang signifikan sebagai pendorong utama perannya di sistem internasional. Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi selama beberapa dekade, ditandai dengan angka pertumbuhan tahunan yang mengesankan (6,2% pada 1953-1977, 8,6% pada 1978-1991, dan lebih tinggi lagi pada tahun-tahun berikutnya), membentuk landasan bagi modernisasi militer yang masif. Revisi doktrin pertahanan aktif China pada tahun 1990, yang berfokus pada peningkatan kemampuan udara dan angkatan laut, dijelaskan. Penguatan ekonomi dan militer China dalam tiga dekade terakhir mengukuhkan posisinya sebagai aktor dominan baru di Asia Timur, bahkan disebut sebagai great power pengganti Jepang dan Uni Soviet. Ambisi China untuk memiliki peran yang lebih besar dalam sistem internasional didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Persaingan dengan AS di Asia Timur semakin intensif, terutama terkait komitmen AS untuk melindungi sekutunya (Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang) dari ancaman China. Sengketa di Laut China Selatan dan situasi di Semenanjung Korea, yang diperparah oleh pengembangan senjata nuklir Korea Utara, menambah kompleksitas persaingan di kawasan tersebut.
3. Offensive Realism dan Perilaku China sebagai Great Power
Bagian ini membahas bagaimana teori realisme ofensif, khususnya yang dikembangkan oleh Mearsheimer, dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku China. Teori ini mengasumsikan bahwa great power akan berupaya menjadi hegemon regional untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. China, sebagai great power, memanfaatkan pertumbuhan ekonomi untuk membangun actual power melalui modernisasi militer, mempertahankan pengembangan nuklir, dan bersikap asertif dalam sengketa perbatasan seperti di Laut China Selatan dan masalah Taiwan. China menggunakan strategi seperti blackmail (ancaman kekuatan militer) untuk mencapai tujuannya. Penulis berargumen bahwa kebangkitan ekonomi China telah memungkinkan transformasi dari latent power menjadi actual power, yang diwujudkan dalam modernisasi militer yang signifikan. Sejarah panjang persaingan di Asia Timur, ditambah dengan dinamika pasca-Perang Dingin, membuat kajian perilaku China semakin menarik. Studi ini secara khusus menganalisis perilaku China di Asia Timur dengan perspektif realisme ofensif Mearsheimer, meneliti bagaimana China berusaha mencapai hegemoni regional dalam konteks sistem anarki internasional.
II.Teori Realisme Ofensif Mearsheimer dan Penerapannya pada Kasus China
Teori realisme ofensif Mearsheimer menjadi kerangka utama analisis. Lima asumsi utama teori ini—anarki sistem internasional, ketidakpastian tujuan negara lain, prioritas keselamatan negara, rasionalitas negara, dan potensi ofensif kemampuan militer—diterapkan untuk menjelaskan perilaku China. Mearsheimer berargumen bahwa great power, seperti China, akan berupaya menjadi hegemon regional untuk menjamin keselamatannya. China, menurut teori ini, akan berupaya memaksimalkan kekuatan relatifnya dengan meningkatkan kemampuan ekonomi dan militernya untuk mengusir AS dari Asia Timur dan menyelesaikan sengketa teritorial. Strategi seperti balancing, buck-passing, bait and bleed, dan bloodletting dibahas dalam konteks upaya China meraih hegemoni regional.
1. Asumsi Asumsi Utama Realisme Ofensif Mearsheimer
Bagian ini memaparkan lima asumsi dasar teori realisme ofensif Mearsheimer. Pertama, negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional yang anarkis, di mana tidak ada otoritas di atas kedaulatan negara. Kedua, ketidakpastian tujuan negara lain, yang membuat negara selalu waspada terhadap potensi ancaman. Ketiga, prioritas utama setiap negara adalah keberlangsungan dan keselamatannya. Keempat, negara bertindak rasional dalam memperhitungkan situasi eksternal dan mencapai tujuan keselamatan. Kelima, setiap negara memiliki kemampuan militer yang berpotensi ofensif, menciptakan potensi konflik antar negara. Teori ini menjelaskan bagaimana negara dengan kemampuan hegemoni regional akan berupaya mencegah munculnya hegemon baru yang mengancam keberlangsungannya. Hal ini dilakukan dengan menciptakan pembagian kekuasaan atau persaingan di antara negara-negara lain. Amerika Serikat, sebagai contoh, telah melakukan hal ini di Asia. Meskipun China saat ini adalah great power di Asia Timur, ia belum memaksimalkan kekuatan relatifnya karena kekuatan militer AS. Strategi China saat ini adalah meningkatkan kemampuan ekonominya untuk kemudian mengusir AS dan mengamankan kepentingannya, termasuk Taiwan.
2. Penerapan Realisme Ofensif pada Perilaku China
Bagian ini menerangkan bagaimana realisme ofensif Mearsheimer diterapkan untuk menganalisis perilaku China. Mearsheimer berpendapat bahwa China, sebagai great power, bertindak rasional dalam upayanya mencapai hegemoni regional. Ia akan berupaya menciptakan keunggulan militer atas negara tetangganya sebagai dasar kekuatan nasional. Peningkatan kemampuan ekonomi menjadi prioritas untuk kemudian menyusun strategi yang tepat guna mengusir AS dari Asia, mengamankan Taiwan, dan menyelesaikan sengketa perbatasan lainnya. Taiwan menjadi fokus utama karena posisi geografisnya yang strategis. Analogi AS dalam mencapai hegemoni regional di belahan bumi barat (Western Hemisphere) selama 115 tahun, melalui ekspansi dan penyingkiran great power lain, digunakan untuk menggambarkan ambisi hegemoni China. Mearsheimer juga mencontohkan Jepang dan Jerman yang berupaya menjadi hegemon setelah mencapai keunggulan ekonomi dan mentransformasikannya ke dalam kekuatan militer. Ia berpendapat bahwa China pun seharusnya melakukan hal yang sama, karena keselamatan negara menjadi prioritas utama, sehingga menjadi ofensif adalah jalan menuju hegemoni regional.
3. Strategi Great Power dan Perilaku China di Asia Timur
Bagian ini menguraikan strategi yang digunakan great power untuk mencapai dan mempertahankan kekuatan maksimum, berdasarkan analisis Mearsheimer. Empat strategi utama dijelaskan: pertama, menjadi hegemon regional; kedua, memaksimalkan kekayaan untuk keunggulan militer; ketiga, memproyeksikan kekuatan militer darat dengan dukungan laut dan udara; keempat, strategi bloodletting, membiarkan musuh saling melemahkan tanpa intervensi langsung. Penulis kemudian menghubungkan strategi ini dengan perilaku China. China, seperti AS, Jepang, dan Jerman sebelumnya, akan berusaha mencapai keunggulan kekuatan atas negara tetangganya sebelum mengambil tindakan ofensif untuk menjadi hegemon regional. Ini akan memfasilitasi penanganan Taiwan dan sengketa perbatasan lainnya. Great power juga berusaha mencegah munculnya kekuatan agresif lain di wilayahnya. Setelah mencapai hegemoni regional, fokus beralih pada mencegah munculnya hegemon baru di wilayah lain atau di wilayahnya sendiri, melalui strategi balancing dan/atau buck-passing. China, sebagai great power, juga akan berupaya untuk mengusir AS dari Asia Timur, dan mengamankan kepentingan-kepentingannya di wilayah tersebut.
III.Definisi Regional dan Hegemoni Regional dalam Konteks Asia Timur
Dokumen ini mendefinisikan Asia Timur sebagai suatu regional yang meliputi China, Taiwan, Jepang, dan dua Korea, dengan AS sebagai intrusive system. Hegemoni regional diartikan sebagai dominasi suatu negara di kawasannya tanpa tantangan berarti dari negara lain. China, sebagai great power, mengejar hegemoni regional di Asia Timur untuk mengamankan kepentingannya. Analisis ini menggunakan konsep regional Thompson dan Stubbs & Underchill yang menekankan pola interaksi, jarak geografis, kesadaran akan batasan area regional, dan jumlah aktor yang terlibat. Studi ini juga mempertimbangkan struktural power dan legitimasi dalam konteks pencapaian hegemoni regional oleh China.
1. Definisi Regional dan Penerapannya pada Asia Timur
Bagian ini membahas definisi konseptual 'regional' atau kawasan, dengan merujuk pada beberapa perspektif. Thompson mendefinisikan regional berdasarkan empat indikator: pola hubungan antar aktor yang saling terkait, batasan jarak geografis, kesadaran aktor akan batasan area regional sebagai ruang operasional, dan keberadaan dua atau lebih aktor yang terlibat. Stubbs dan Underchill menambahkan dua indikator lain: pengalaman sejarah bersama dan hubungan permasalahan di antara negara-negara dalam satu wilayah geografis. Cantori dan Spiegel menitikberatkan pada keberadaan 'intrusive system', yaitu kekuatan besar dari luar kawasan yang berpengaruh kuat terhadap dinamika politik di dalamnya. Berdasarkan definisi ini, Asia Timur didefinisikan sebagai kawasan yang meliputi China, Taiwan, Jepang, dan dua Korea, dengan AS sebagai 'intrusive system' karena keterlibatan aktifnya, baik politik maupun militer. Intensitas hubungan di kawasan ini terlihat dari 'six-party talk' yang melibatkan enam negara (dua Korea, China, Jepang, Rusia, dan AS) untuk membahas masalah keamanan, khususnya program nuklir Korea Utara. Sebelum Perang Dunia II, kawasan ini dikenal sebagai Timur Jauh (Far East), namun pasca Perang Dingin sering digabungkan dengan Asia Tenggara dan Asia Selatan dalam istilah Asia Pasifik. Definisi operasional 'regional hegemon' dalam penelitian ini adalah negara terkuat di kawasan yang mampu memastikan tidak ada kekuatan lain yang dapat menandinginya.
2. Hegemoni Regional dan Ambisi China di Asia Timur
Bagian ini menjelaskan konsep 'hegemoni regional' dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan ambisi China di Asia Timur. Hegemoni regional didefinisikan sebagai dominasi suatu negara di kawasannya tanpa tantangan berarti dari negara lain. Pencapaian hegemoni regional ini penting bagi China untuk memastikan keberlangsungannya sebagai negara di tengah anarki sistem internasional. China mengejar hegemoni regional dengan memastikan keunggulan kekuatannya atas negara-negara lain di Asia Timur. Keunggulan ekonomi dan militer China, didukung oleh nasionalisme yang kuat di dalam negeri, menjadi modal utama dalam mengejar tujuan ini. Dengan statusnya sebagai great power, China memprioritaskan pencapaian hegemoni di Asia Timur. Namun, definisi regional hegemon dalam penelitian ini mempertimbangkan batasan geografis kawasan Asia Timur. AS, sebagai hegemon di belahan bumi barat, dijadikan contoh bagaimana hegemoni regional dicapai melalui penguasaan wilayah dan eliminasi great power lainnya. China, sebagai great power di Asia Timur, akan berusaha meniru strategi serupa untuk mengamankan statusnya dan mencapai berbagai kepentingan nasionalnya di kawasan tersebut.
IV.Metodologi Penelitian dan Batasan Waktu
Penelitian ini menggunakan pendekatan induksionis, dengan unit analisis berupa kepentingan China dan unit eksplanasi berupa dinamika keamanan di Asia Timur. Variabel dependen adalah kepentingan China, sementara variabel independen adalah dinamika politik di kawasan, khususnya perilaku China. Batasan waktu penelitian adalah pasca Perang Dingin (1991-2012), periode di mana China mengalami transformasi dan mencapai status great power di Asia Timur. Penelitian ini berfokus pada perilaku China di lingkungan terdekatnya untuk mengamankan keselamatannya di tengah anarki sistem internasional.
1. Pendekatan Penelitian dan Variabel yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan model induksionis, di mana unit analisis (kepentingan China) berada pada posisi struktur yang lebih rendah daripada unit eksplanasi (perilaku China di kawasan sebagai sistem regional Asia Timur). Terdapat dua variabel utama: variabel dependen (kepentingan China di Asia Timur) dan variabel independen (dinamika keamanan kawasan dalam bentuk perilaku China di Asia Timur). Penelitian ini menggunakan pendekatan sistemik untuk menjelaskan dinamika politik kawasan, khususnya perilaku China pasca Perang Dingin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepentingan China di Asia Timur dan bagaimana dinamika keamanan regional mempengaruhi perilaku China dalam mencapai tujuannya. Model induksionis dipilih karena memungkinkan analisis yang fokus pada bagaimana sistem regional (variabel independen) memengaruhi perilaku aktor negara (variabel dependen) dalam konteks ini, yaitu bagaimana sistem regional Asia Timur mempengaruhi perilaku China. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyelidiki bagaimana kondisi sistem regional Asia Timur mempengaruhi kepentingan dan strategi China dalam konteks persaingan antar kekuatan besar.
2. Batasan Waktu Penelitian
Penelitian ini membatasi ruang lingkup waktu pada periode pasca-Perang Dingin, yaitu tahun 1991 hingga 2012. Pembatasan waktu ini didasarkan pada peristiwa penting yang membentuk konteks penelitian, yakni berakhirnya Perang Dingin yang membawa perubahan signifikan bagi posisi China di kawasan Asia Timur. Akhir Perang Dingin menandai munculnya China sebagai kekuatan baru yang signifikan di kawasan tersebut, seiring dengan melemahnya Jepang karena keterikatan militer dengan AS. Periode ini juga ditandai dengan berbagai perubahan dalam dinamika politik kawasan, khususnya dalam bidang keamanan. Persaingan yang telah berlangsung lama antara negara-negara di kawasan Asia Timur, ditambah dengan minimnya lembaga supra-nasional untuk menjamin keamanan, menciptakan kondisi anarki yang mempengaruhi perilaku China. Oleh karena itu, periode pasca-Perang Dingin hingga 2012 dipilih sebagai periode penelitian untuk menganalisis bagaimana China merespon perubahan ini dan berupaya mengamankan posisinya di Asia Timur, khususnya dalam konteks pencapaian hegemoni regional.