Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Tanjung Gusta Medan

Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Tanjung Gusta Medan

Informasi dokumen

Penulis

Leliana Sijabat

Sekolah

Universitas [Nama Universitas Tidak Disebutkan dalam Dokumen]

Jurusan Sarjana Keperawatan
Tempat Medan
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 7.55 MB
  • perawatan diri
  • narapidana wanita
  • kesehatan di lapas

Ringkasan

I.Latar Belakang Kesehatan Narapidana Wanita dan Perawatan Diri di Lapas

Penelitian ini menelaah perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Narapidana, khususnya wanita, sangat rentan terhadap berbagai penyakit karena kondisi hidup di lapas yang jauh dari layak. Kesehatan mereka terancam oleh sanitasi yang buruk, keterbatasan akses air bersih, dan persediaan makanan yang tidak memadai. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi praktik perawatan diri mereka dan faktor-faktor yang mempengaruhinya guna meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan penjara.

1. Kerentanan Kesehatan Narapidana Wanita

Dokumen ini menekankan kerentanan narapidana wanita terhadap berbagai penyakit. Kondisi kehidupan di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang jauh dari layak menjadi faktor utama. Kurangnya sanitasi, akses air bersih yang terbatas, dan ketersediaan makanan yang tidak memadai meningkatkan risiko berbagai penyakit. Kondisi ini diperparah oleh kerentanan fisik dan psikologis narapidana wanita yang membutuhkan perawatan kesehatan khusus. Kehidupan di lapas yang tidak layak ini memaksa narapidana untuk melakukan perawatan diri guna mempertahankan kesehatan mereka. Studi-studi lain, seperti penelitian oleh Wirawan, Nurullita, & Astuti (2011), juga menunjukkan tingkat kesehatan narapidana yang buruk sebagai konsekuensi logis dari kondisi lapas yang tidak ideal. UNODC (2008) juga mencatat jumlah narapidana wanita yang signifikan di seluruh dunia, yang semakin memperkuat perlunya perhatian khusus pada kesehatan mereka. Masalah-masalah seperti kemiskinan, reproduksi, dan masalah keluarga juga menjadi faktor penentu kesehatan narapidana wanita sebelum dan sesudah masa penahanan. Akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan sebelum ditahan dan layanan yang kurang memadai di lapas memperburuk kondisi kesehatan mereka. Sistem layanan kesehatan di lapas yang dirancang untuk pria juga menjadi hambatan dalam memenuhi kebutuhan spesifik kesehatan wanita.

2. Kondisi Lapas dan Dampaknya terhadap Kesehatan

Kondisi lapas yang buruk secara signifikan mempengaruhi kesehatan narapidana wanita. Keterbatasan fasilitas sanitasi, termasuk toilet yang tidak memadai, menyebabkan kondisi tidak higienis dan meningkatkan paparan infeksi menular. Kebutuhan dasar perempuan, seperti pembalut dan kain saniter yang bersih, seringkali tidak terpenuhi (UNODC, 2008). Contoh kasus di Lapas Kajhu, Aceh (2010), dan Lapas Nusa Kambangan menggambarkan masalah penyediaan makanan yang tidak layak, mengakibatkan protes dan bahkan kematian akibat kelaparan (Avil, 2015). Di Lapas Nusa Kambangan, anggaran makanan yang terbatas (Rp 8000 per hari) memaksa narapidana untuk mencari makanan tambahan. Lapas Sragen dan Rutan Pondok Bambu juga diilustrasikan sebagai contoh kondisi kamar mandi yang tidak layak, dengan pembatas yang rendah dan ruang yang sempit (Putri, 2014). Keterbatasan akses air bersih juga menjadi masalah yang sering dikeluhkan, bahkan mengharuskan narapidana untuk mengeluarkan uang tambahan untuk mendapatkan air bersih. Permasalahan ini juga ditemukan dalam penelitian Nelli (2003) tentang pelaksanaan hak-hak narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta, menunjukkan keluhan tentang kurangnya sarana dan prasarana seperti air minum, air mandi, makanan, dan fasilitas kamar. Kondisi ini secara langsung berdampak pada praktik perawatan diri dan kesehatan narapidana wanita.

3. Pengertian dan Aspek Perawatan Diri

Dokumen ini mendefinisikan perawatan diri sebagai tindakan berkesinambungan yang dilakukan oleh individu untuk mempertahankan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan (Orem, 1991; Depkes, 2000). Perawatan diri meliputi berbagai aspek, termasuk kebersihan diri, personal hygiene, pencegahan penyakit, dan peningkatan kepercayaan diri (Tarwoto & Wartonah, 2003). Perawatan diri yang efektif berkontribusi pada integritas struktural, fungsi, dan perkembangan manusia (Asmadi, 2008). Dokumen tersebut menjelaskan berbagai aspek perawatan diri, seperti perawatan kulit, kuku dan kaki, mulut, rambut, serta berhias dan toileting (BAK/BAB), makan. Masing-masing aspek diuraikan dengan detail, mencakup anatomi, fungsi, dan praktik perawatan yang tepat untuk menjaga kesehatan dan kebersihan. Kegagalan dalam melakukan perawatan diri dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Perawatan diri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti citra tubuh, praktik sosial, pengetahuan, dan motivasi. Pengetahuan tentang pentingnya higiene dan implikasinya terhadap kesehatan sangat penting, tetapi motivasi juga merupakan faktor kunci untuk mempertahankan perawatan diri yang baik (Potter & Perry, 2005).

II.Tujuan dan Metodologi Penelitian

Tujuan penelitian deskriptif ini adalah mengidentifikasi praktik perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Sampel penelitian terdiri dari 78 narapidana wanita yang dipilih menggunakan teknik accidental sampling pada April 2015. Data dikumpulkan melalui kuesioner dan wawancara, dengan validitas isi kuesioner mencapai 100% (CVI=1) dan reliabilitas 0,794 (uji Cronbach alpha).

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Tujuannya sangat spesifik, yaitu untuk memahami bagaimana narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan tersebut menjalankan praktik perawatan diri mereka sehari-hari. Penelitian ini difokuskan pada pengamatan dan pengukuran praktik perawatan diri, bukan pada penyebab atau faktor-faktor sosial ekonomi yang lebih luas yang mungkin berpengaruh. Ini merupakan sebuah penelitian deskriptif, berarti tujuannya adalah mendeskripsikan keadaan yang ada saat ini terkait praktik perawatan diri narapidana wanita di Lapas tersebut, bukan untuk menguji hipotesis atau mencari hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana perawatan diri dijalankan oleh populasi tersebut, yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lanjutan atau pengembangan program intervensi.

2. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara. Sampel penelitian terdiri dari 78 narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan, yang dipilih menggunakan teknik accidental sampling pada bulan April 2015. Teknik accidental sampling ini berarti partisipan dipilih secara kebetulan dari populasi yang tersedia. Kuesioner yang digunakan telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas isi (content validity) dilakukan dengan melibatkan pakar, menghasilkan nilai Content Validity Index (CVI) sebesar 1, yang mengindikasikan validitas sempurna. Uji reliabilitas menggunakan uji Cronbach alpha pada 20 narapidana wanita di luar sampel penelitian menghasilkan nilai 0,794. Nilai ini lebih besar dari 0,70, menunjukkan reliabilitas instrumen yang baik (Polit, Beck, & Hungler, 1996). Proses pengumpulan data melibatkan mendapatkan informed consent dari responden dan memberikan kesempatan untuk bertanya. Responden yang tidak bisa membaca dan menulis dibantu peneliti dalam mengisi kuesioner. Kelengkapan data juga diperiksa secara cermat untuk memastikan keakuratan hasil penelitian.

III.Hasil Penelitian Praktik Perawatan Diri Narapidana Wanita

Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar (97,4%) responden memiliki praktik perawatan diri yang baik, meliputi higiene pribadi (mandi, kebersihan kuku, rambut, mulut), toileting (BAK/BAB), berhias, dan kebiasaan makan. Meskipun demikian, terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, seperti akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai di lapas. Data demografis responden menunjukkan bahwa mayoritas berusia 20-40 tahun (69,2%), beragama Islam (84,6%), dan merupakan narapidana pertama kali (93,6%).

1. Tingkat Perawatan Diri Secara Umum

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar narapidana wanita (76 responden atau 97,4%) di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki praktik perawatan diri yang baik. Hanya 2 responden (2,6%) yang menunjukkan perawatan diri sedang. Temuan ini mengindikasikan bahwa mayoritas narapidana di lapas tersebut mampu menjalankan praktik perawatan diri mereka dengan baik, meskipun dalam kondisi dan lingkungan yang menantang. Hasil ini juga menunjukkan bahwa meskipun menghadapi berbagai masalah di dalam lembaga pemasyarakatan, mereka tetap berusaha menjaga kesehatan diri mereka melalui praktik perawatan diri yang baik. Perlu dicatat bahwa temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya di Amerika yang menunjukkan kesulitan narapidana dalam merawat diri sendiri karena fasilitas penjara yang tidak memadai (Acoca, 1998) dan kelalaian yang menyebabkan defisit perawatan (Anderson, 2003). Penelitian ini menunjukkan gambaran yang lebih positif terkait perawatan diri di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

2. Hasil Perawatan Diri Berdasarkan Aspek

Lebih rinci, hasil penelitian menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi dalam berbagai aspek perawatan diri. Sebanyak 76 responden (97,4%) memiliki higiene pribadi yang baik, 74 responden (94,9%) memiliki aktivitas toileting yang baik, dan 71 responden (91%) menyatakan memiliki kondisi kesehatan yang baik. Hanya pada aspek berhias, angka ini lebih rendah, dengan 52 responden (66,7%) yang memiliki praktik berhias yang baik. Temuan ini menunjukkan bahwa aspek-aspek dasar perawatan diri, seperti higiene dan toileting, lebih diperhatikan oleh narapidana wanita dibandingkan dengan aspek-aspek lain seperti berhias. Data ini memberikan gambaran yang lebih detail tentang praktik perawatan diri pada masing-masing komponennya, sehingga peneliti dapat menganalisis lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat kepatuhan di setiap aspek. Data ini menunjukkan tingkat keberhasilan dalam praktik perawatan diri, namun perlu diingat bahwa penelitian ini hanya menggambarkan kondisi saat ini dan tidak menjelaskan faktor-faktor penyebabnya secara detail.

3. Karakteristik Demografi Responden

Karakteristik demografis responden juga dianalisis untuk melihat hubungannya dengan praktik perawatan diri. Responden terbanyak berada pada usia dewasa awal (20-40 tahun) dengan jumlah 54 orang (69,2%). Lebih dari setengah responden (48 orang atau 61,5%) tidak menderita penyakit. Mayoritas responden (73 orang atau 93,6%) merupakan narapidana yang pertama kali masuk lapas, dan mayoritas beragama Islam (66 orang atau 84,6%). Data demografis ini memberikan konteks penting untuk memahami hasil penelitian. Informasi ini bermanfaat untuk menganalisis lebih jauh apakah ada perbedaan praktik perawatan diri yang signifikan berdasarkan usia, status kesehatan, riwayat kriminal, atau agama. Dengan adanya data demografis ini, peneliti dapat melakukan analisis lebih lanjut untuk melihat apakah terdapat korelasi antara karakteristik demografis responden dengan praktik perawatan diri mereka.

IV.Faktor faktor yang Mempengaruhi Perawatan Diri

Beberapa faktor signifikan yang mempengaruhi perawatan diri narapidana wanita diidentifikasi, termasuk ketersediaan fasilitas di lapas (akses air, sanitasi, makanan), dukungan keluarga, pengetahuan tentang higiene, motivasi pribadi, dan faktor agama (Islam). Kondisi lapas yang kurang memadai, seperti sanitasi buruk dan keterbatasan fasilitas, menjadi kendala utama dalam praktik perawatan diri. Penelitian membandingkan kondisi di Lapas Tanjung Gusta dengan kondisi di penjara di negara lain (Amerika, Jepang, Texas), menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam fasilitas dan praktik perawatan diri.

1. Ketersediaan Fasilitas di Lapas

Akses dan ketersediaan fasilitas di Lapas sangat berpengaruh terhadap praktik perawatan diri narapidana wanita. Keterbatasan air bersih, seperti yang dialami beberapa narapidana yang hanya mandi sekali sehari karena harus mengantri dan terbatasnya air (sesuai wawancara), secara langsung mempengaruhi higiene pribadi. Fasilitas sanitasi yang buruk, seperti yang dilaporkan di Lapas Sragen dan Rutan Pondok Bambu (Daryanto, 2011; Putri, 2014), dengan toilet dan kamar mandi yang tidak layak, juga menjadi kendala besar. Keterbatasan toilet menyebabkan antrian panjang dan kesulitan dalam menjaga kebersihan diri. Masalah serupa ditemukan terkait kebutuhan khusus wanita, seperti ketersediaan pembalut dan fasilitas sanitasi yang memadai untuk kebersihan menstruasi (UNODC, 2008). Penyediaan makanan yang kurang layak, seperti yang terjadi di Lapas Kajhu dan Nusa Kambangan, juga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan narapidana, bahkan menyebabkan protes dan mogok makan (Avil, 2015). Penelitian Hidir dan Kartikowati (2012) di Lapas Provinsi Riau menunjukkan bahwa meskipun lapas menyediakan fasilitas, akses dan pembagiannya mungkin tidak merata, membuat beberapa narapidana harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kebutuhan dasar. Perbedaan ini dibandingkan dengan sistem penjara di Texas, di mana narapidana harus membeli sendiri perlengkapan mandi dan berhias karena tidak disediakan pemerintah (Chammah, 2013).

2. Peran Keluarga dan Dukungan Sosial

Dukungan keluarga berperan penting dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri narapidana wanita. Mayoritas responden dalam penelitian ini tidak bekerja (ibu rumah tangga) sebelum masuk lapas (44,9%), sehingga ketergantungan pada keluarga untuk mencukupi kebutuhan mereka sangat besar. Responden yang sudah menikah (48,7%) lebih mudah mendapatkan kebutuhan pribadi yang tidak disediakan di lapas melalui kunjungan keluarga. Penelitian Hidir dan Kartikowati (2012) juga menunjukkan tiga pola besar bagaimana napi perempuan mendapatkan kebutuhan perawatan diri, yaitu melalui kedekatan dengan petugas lapas, lamanya masa tahanan, dan kunjungan rutin keluarga. Namun, perlu dicatat bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat keterbatasan fasilitas, narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta tetap mampu melakukan perawatan diri dengan baik, menunjukkan kemampuan adaptasi dan upaya mereka untuk menjaga kesehatan. Peran keluarga ini menjadi faktor penentu dalam memastikan bahwa kebutuhan perawatan diri tetap terpenuhi, meskipun lapas memiliki keterbatasan.

3. Pengetahuan Motivasi dan Faktor Agama

Pengetahuan tentang pentingnya higiene dan dampaknya terhadap kesehatan berpengaruh pada praktik perawatan diri. Namun, pengetahuan saja tidak cukup; motivasi juga berperan penting (Potter & Perry, 2005). Responden dalam penelitian ini menunjukkan motivasi yang baik untuk melakukan perawatan diri, meskipun dalam kondisi penjara dan dengan fasilitas yang terbatas. Mereka memahami pentingnya menjaga kesehatan meskipun berada di lapas. Hal ini berbeda dengan pengalaman narapidana di penjara Texas, di mana kebersihan diri bukan prioritas utama (Chammah, 2013). Agama, khususnya Islam (mayoritas responden beragama Islam, 84,6%), juga berpengaruh signifikan. Islam menekankan pentingnya higiene pribadi sebagai bagian dari iman (Stacey, 2009), yang dapat menjelaskan tingkat kepatuhan yang tinggi pada aspek higiene pribadi dalam penelitian ini. Faktor-faktor psikologis, seperti perasaan, sikap, dan kepercayaan diri juga memengaruhi perawatan diri (Azwar, 2009; Notoatmodjo, 2003). Perbedaan persepsi dan motivasi antar individu juga perlu diperhatikan dalam memahami variasi praktik perawatan diri.

V.Kesimpulan dan Rekomendasi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun mayoritas narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan menunjukkan praktik perawatan diri yang baik, peningkatan fasilitas dan dukungan dari pihak lapas sangat penting untuk memastikan kesehatan mereka. Rekomendasi meliputi perbaikan fasilitas perawatan diri di lapas, distribusi fasilitas yang merata, dan peningkatan edukasi tentang higiene dan kesehatan bagi narapidana wanita.

1. Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki praktik perawatan diri yang baik, terutama dalam hal higiene pribadi, toileting, dan kebiasaan makan. Meskipun demikian, penelitian ini juga mengungkap beberapa kelemahan, khususnya terkait dengan akses terhadap fasilitas yang memadai di lapas. Meskipun kondisi lingkungan yang kurang ideal, narapidana wanita menunjukkan usaha dan motivasi yang tinggi untuk menjaga kesehatan mereka. Perbedaan hasil ini dibandingkan dengan penelitian di penjara di negara lain, menunjukkan bahwa kondisi lapas dan akses terhadap fasilitas sangat berpengaruh terhadap praktik perawatan diri. Temuan ini menekankan pentingnya perhatian terhadap kondisi lapas dan penyediaan fasilitas yang memadai untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan narapidana wanita. Peran keluarga juga menjadi faktor penting dalam menunjang perawatan diri narapidana. Penelitian ini memberikan gambaran kondisi terkini dan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan intervensi yang lebih terarah.

2. Rekomendasi

Berdasarkan temuan penelitian, direkomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan praktik perawatan diri narapidana wanita. Pertama, manajemen lapas perlu meningkatkan dan memastikan ketersediaan fasilitas perawatan diri yang memadai dan terdistribusi secara merata kepada seluruh narapidana. Hal ini termasuk peningkatan akses air bersih, fasilitas sanitasi yang layak, dan penyediaan makanan yang bergizi dan cukup. Kedua, peningkatan edukasi dan penyuluhan mengenai higiene dan kesehatan perlu diberikan kepada narapidana untuk meningkatkan pengetahuan dan praktik perawatan diri yang lebih baik. Ketiga, perlu adanya upaya untuk memperkuat peran serta keluarga dalam mendukung perawatan diri narapidana, mengingat peran penting keluarga dalam memenuhi kebutuhan yang tidak tersedia di lapas. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk menyelidiki lebih detail faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diri narapidana wanita di berbagai lapas dan untuk mengevaluasi efektivitas intervensi yang mungkin diterapkan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, diharapkan kualitas perawatan diri narapidana wanita dapat meningkat secara signifikan.