Dinamika Hubungan Diplomatik Indonesia dan Tiongkok

Dinamika Hubungan Diplomatik Indonesia dan Tiongkok

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 191.29 KB
  • Hubungan Indonesia-Tiongkok
  • Diplomasi
  • Kerjasama Bilateral

Ringkasan

I.Dinamika Hubungan Indonesia Tiongkok Dari Era Soeharto hingga Pasca Reformasi

Dokumen ini membahas hubungan Indonesia-Tiongkok, menelusuri dinamika hubungan bilateral kedua negara dari era Soeharto hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Era Soeharto ditandai dengan hubungan yang hati-hati dan perkembangan yang lambat, termasuk pembekuan hubungan selama hampir 23 tahun pasca Peristiwa G30S/PKI. Pasca-reformasi, khususnya di era Abdurrahman Wahid, hubungan mengalami peningkatan signifikan, ditandai dengan kunjungan kenegaraan dan penandatanganan beberapa Memorandum of Understanding (MOU), misalnya di bidang energi dan sumber daya mineral. Megawati Soekarnoputri melanjutkan upaya tersebut, dan puncaknya adalah penandatanganan Perjanjian Kemitraan Strategis pada tahun 2005 di bawah pemerintahan SBY, yang menandai babak baru dalam hubungan ekonomi dan politik Indonesia-Tiongkok.

1. Hubungan Indonesia Tiongkok di Era Soeharto

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pasca pencairan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, hubungan kedua negara mengalami peningkatan, meskipun berlangsung lambat. Hal ini disebabkan oleh sikap Soeharto yang sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok. Peningkatan hubungan tersebut ditandai dengan penandatanganan beberapa Memorandum of Understanding (MOU), terutama di bidang energi dan sumber daya. Namun, hubungan bilateral kedua negara mengalami pembekuan signifikan selama kurang lebih 23 tahun setelah peristiwa G30S/PKI. Soeharto meyakini adanya keterlibatan Tiongkok dalam kudeta yang didalangi PKI tahun 1965, sehingga memutuskan untuk membekukan hubungan tersebut. Meskipun terdapat beberapa kerjasama, seperti penandatanganan MOU antara Departemen Pertambangan dan Energi RI dengan Kementerian Geologi dan Sumber Daya Mineral RRT pada Februari 1991 di Jakarta, dan MOU antara Departemen Kehutanan RI dan Kementerian Kehutanan RRT pada Juni 1992 di Jakarta, kemajuan hubungan Indonesia-Tiongkok tetap terbatas selama periode ini karena faktor politik yang kompleks.

2. Era Reformasi dan Peningkatan Hubungan Bilateral

Pasca-reformasi, hubungan Indonesia-Tiongkok mengalami peningkatan signifikan, terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Wahid menyadari pentingnya menjalin hubungan baik dengan Tiongkok mengingat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat dalam satu dekade terakhir. Kunjungan resmi Wahid ke Tiongkok pada Desember 1999 menghasilkan kesepakatan joint communiqué, termasuk bantuan senilai US$5 miliar dan fasilitas kredit US$200 juta. Kerjasama juga disepakati dalam berbagai bidang, seperti keuangan, teknologi, perikanan, pariwisata, dan counter trade di bidang energi (pertukaran LNG Indonesia dengan produk-produk Tiongkok). Wahid juga berupaya memperbaiki citra Indonesia di mata Tiongkok pasca kerusuhan Mei 1998 yang banyak memakan korban dari kalangan keturunan Tionghoa. Megawati Soekarnoputri melanjutkan upaya tersebut, melakukan kunjungan ke Tiongkok pada Maret 2002 dan menandatangani beberapa MoU, termasuk mengenai pendirian forum energi dan kerjasama infrastruktur. Hubungan yang semakin membaik berlanjut hingga masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

3. Puncak Hubungan Bilateral Penandatanganan Perjanjian Kemitraan Strategis 2005

Hubungan Indonesia-Tiongkok mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan ditandatanganinya Strategic Partnership Agreement pada 25 April 2005 di Jakarta. Perjanjian ini, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao, menandai hubungan yang tidak memihak dan tidak tertutup, bertujuan mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kedua negara. Kemitraan strategis ini mencakup tiga bidang utama: kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi dan pembangunan, dan kerjasama sosial budaya. Kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok menjadi latar belakang penting bagi kerjasama ini, di mana Indonesia melihat Tiongkok sebagai peluang besar untuk meningkatkan perekonomian nasional. Peningkatan volume perdagangan dan investasi Tiongkok di Indonesia (data investasi tahun 2000, 2004, dan 2005 disebutkan) menjadi faktor pendorong utama kesepakatan ini. Meskipun demikian, Indonesia tetap harus bersaing dengan negara-negara ASEAN lain dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh kebangkitan Tiongkok. Perjanjian ini juga didasarkan pada prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia.

II.Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia Tiongkok 2005 dan Kepentingan Nasional Indonesia

Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok tahun 2005, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao, merupakan tonggak penting dalam hubungan kedua negara. Perjanjian ini bertujuan untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran. Dari sudut pandang Indonesia, perjanjian ini didorong oleh kebangkitan ekonomi Tiongkok, yang dilihat sebagai peluang besar untuk meningkatkan volume perdagangan, menarik investasi, dan mengembangkan industri strategis Indonesia. Namun, Indonesia juga menyadari pentingnya menjaga keseimbangan dalam hubungan ini, termasuk memperhatikan kepentingan nasional di tengah persaingan dengan negara-negara ASEAN lainnya dan dinamika politik regional. Hal ini sejalan dengan politik luar negeri bebas aktif Indonesia.

1. Perjanjian Kemitraan Strategis 2005 Landasan dan Tujuan

Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok yang ditandatangani pada 25 April 2005 di Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao merupakan titik kulminasi dari perbaikan hubungan bilateral kedua negara. Perjanjian ini dirancang sebagai kemitraan yang tidak memihak dan tidak tertutup, bertujuan untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran bersama. Kemitraan strategis ini memiliki cakupan yang luas, meliputi kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi dan pembangunan, serta kerjasama sosial budaya. Dokumen tersebut menekankan bahwa kesepakatan ini merupakan respons terhadap kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok, yang dilihat Indonesia sebagai peluang sekaligus tantangan. Indonesia berharap dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok melalui peningkatan perdagangan dan investasi, serta pengembangan industri strategis di dalam negeri. Namun, digarisbawahi pula perlunya Indonesia bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam memanfaatkan peluang ini.

2. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Kemitraan Strategis

Tujuan utama Indonesia dalam menjalin kemitraan strategis dengan Tiongkok adalah untuk mencapai kepentingan nasional di bidang ekonomi dan politik. Kesepakatan ini diharapkan dapat menciptakan stabilitas kawasan dan meningkatkan industri strategis Indonesia. Peningkatan volume perdagangan dan investasi dari Tiongkok juga menjadi target utama. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa keputusan untuk menandatangani perjanjian ini merupakan hasil dari perumusan kebijakan luar negeri yang rasional. Proses pengambilan keputusan tersebut melibatkan penelaahan yang mendalam terhadap kepentingan nasional dan perhitungan untung-rugi atas berbagai alternatif yang ada. Pendekatan rasional ini menekankan pada optimalisasi kerja dan kesiapan untuk melakukan perubahan atau penyelesaian dalam kebijaksanaan sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Dengan kata lain, kemitraan strategis ini merupakan strategi untuk mencapai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir bagi kepentingan nasional Indonesia.

3. Kebangkitan Ekonomi Tiongkok sebagai Katalis Kerjasama

Kebangkitan ekonomi Tiongkok, dengan pertumbuhan PDB yang fantastis dan peningkatan GDP per kapita, menjadi faktor kunci yang mendorong Indonesia untuk menandatangani perjanjian kemitraan strategis. Peningkatan investasi Tiongkok di Indonesia, yang terlihat dari data peningkatan investasi dari 2,52 juta dolar AS pada tahun 2000 menjadi 27,97 juta dolar AS pada tahun 2005, menunjukkan potensi ekonomi yang signifikan. Namun, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat juga disertai dengan penguatan militer, yang menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia. Meskipun Indonesia melihat kerjasama dengan Tiongkok sebagai peluang besar, teks ini juga menyoroti perlunya mempertimbangkan konteks geopolitik yang lebih luas, termasuk posisi Indonesia di ASEAN dan potensi konflik kepentingan di kawasan tersebut, khususnya dalam konteks East Asia Summit. Dengan demikian, kebijakan Indonesia tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas aktif.

III.Kebangkitan Ekonomi Tiongkok dan Dampaknya terhadap Hubungan Bilateral

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat (dijelaskan dengan data PDB dan pertumbuhan ekonomi) menjadi faktor pendorong utama dalam perkembangan hubungan Indonesia-Tiongkok. Investasi Tiongkok di Indonesia mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2000, terutama di sektor industri kimia, farmasi, dan transportasi. Peningkatan volume perdagangan Indonesia-Tiongkok juga menjadi indikator keberhasilan kerjasama ekonomi. Namun, kebangkitan ekonomi Tiongkok juga diiringi oleh peningkatan kekuatan militer, yang menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.

1. Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok dan Peluang bagi Indonesia

Dokumen ini mencatat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sangat pesat dalam satu dekade terakhir sebagai faktor utama yang memengaruhi hubungan bilateral dengan Indonesia. Pertumbuhan ini, yang diiringi dengan peningkatan PDB dan GDP per kapita (data spesifik disebutkan dalam dokumen), menciptakan peluang besar bagi Indonesia. Indonesia melihat kebangkitan ekonomi Tiongkok sebagai kesempatan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, termasuk peningkatan volume perdagangan dan investasi Tiongkok di Indonesia. Data investasi Tiongkok di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2005 menunjukkan tren peningkatan yang signifikan, terutama di sektor industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi, serta industri alat angkutan dan transportasi. Peningkatan ini menjadi salah satu alasan utama bagi Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis dengan Tiongkok, guna memanfaatkan peluang ekonomi yang ditawarkan oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat. Namun, dokumen tersebut juga menyadari adanya persaingan dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk mendapatkan manfaat yang sama.

2. Penguatan Militer Tiongkok dan Implikasinya

Kebangkitan ekonomi Tiongkok selalu diiringi dengan penguatan militer. Pertumbuhan ekonomi yang kuat memungkinkan Tiongkok untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya, terlihat dari modernisasi militer dan pengadaan alutsista canggih seperti pesawat tempur SU-27 dari Rusia. Tiongkok mengalokasikan anggaran yang besar untuk penguatan militer, yang menjadi kebijakan prioritas negara tersebut. Kondisi ini menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia dalam menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Di satu sisi, kemajuan industri militer Tiongkok dapat menjadi sumber alutsista bagi Indonesia dan potensi kerjasama dalam pengembangan industri strategis di Indonesia. Di sisi lain, peningkatan kekuatan militer Tiongkok membutuhkan pendekatan yang cermat dan pertimbangan yang matang dalam konteks politik regional dan kepentingan nasional Indonesia.

3. Kerjasama Ekonomi sebagai Fokus Utama

Hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok menjadi fokus utama dalam dokumen ini, dimana volume perdagangan kedua negara terus meningkat secara stabil dari tahun ke tahun. Berbagai sektor terlibat dalam kerjasama ekonomi ini. Investasi Tiongkok di Indonesia meningkat signifikan, meskipun masih terkonsentrasi di beberapa sektor industri tertentu. Peningkatan perdagangan dan investasi dari Tiongkok menjadi alasan utama bagi Indonesia untuk menandatangani kemitraan strategis. Kerjasama ekonomi ini diharapkan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Indonesia, tetapi juga perlu diimbangi dengan strategi yang tepat untuk menghadapi persaingan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, dan pertimbangan atas implikasi dari penguatan militer Tiongkok terhadap stabilitas regional.

IV.Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Tiongkok

Dokumen ini menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Tiongkok melalui pendekatan rasional. Keputusan untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis dijelaskan sebagai hasil dari perhitungan rasional yang mempertimbangkan kepentingan nasional, termasuk peningkatan kerjasama ekonomi dan stabilitas regional. Analisis ini juga mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok, dan konteks internasional. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis data sekunder, meliputi studi literatur dan artikel terkait hubungan Indonesia-Tiongkok.

1. Model Pengambilan Keputusan Rasional dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Analisis kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Tiongkok dalam dokumen ini menggunakan model aktor rasional. Model ini memandang pengambilan keputusan kebijakan luar negeri sebagai proses intelektual yang dilakukan oleh aktor rasional untuk mencapai tujuan tertentu. Proses pengambilan keputusan terkait kesepakatan kemitraan strategis Indonesia-Tiongkok tahun 2005 digambarkan sebagai proses yang rasional, melalui tahapan intelektual yang memusatkan perhatian pada kepentingan nasional dan tujuan bangsa Indonesia. Perhitungan untung-rugi atas alternatif yang ada dilakukan secara cermat. Pembuat keputusan menggunakan kriteria optimalisasi kerja dan selalu siap untuk melakukan perubahan atau penyelesaian dalam kebijaksanaan sesuai dengan perkembangan situasi. Model ini mengasumsikan bahwa pembuat keputusan memiliki informasi yang lengkap dan mampu memprediksi konsekuensi dari setiap pilihan.

2. Kepentingan Nasional dan Perjanjian Kemitraan Strategis

Kepentingan nasional Indonesia dalam kemitraan strategis dengan Tiongkok dijelaskan sebagai terwujudnya stabilitas kawasan, peningkatan industri strategis Indonesia, peningkatan volume perdagangan, dan peningkatan arus investasi dari Tiongkok. Kesepakatan kemitraan strategis tahun 2005 dilihat sebagai upaya untuk mencapai kepentingan-kepentingan nasional tersebut. Dokumen ini menjabarkan bahwa kepentingan nasional merupakan tujuan fundamental dan faktor penentu akhir dalam menjelaskan perilaku suatu negara dalam kancah internasional. Dalam konteks hubungan dengan Tiongkok, kepentingan nasional ini diwujudkan melalui kerjasama yang saling menguntungkan, namun tetap memperhatikan potensi konflik kepentingan di kawasan, seperti yang terlihat dalam kasus East Asia Summit dan peran ASEAN.

3. Metodologi Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan tipe penjelasan kausal (causal explanation) untuk menjelaskan penyebab terjadinya fenomena atau peristiwa tertentu. Metodologi eksplanasi bertujuan menjelaskan hubungan antara dua atau lebih gejala variabel. Pertanyaan dasar penelitian adalah “mengapa”, dengan upaya mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta secara jelas, teliti, dan lengkap. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber seperti literatur, majalah, artikel, internet, dan karya ilmiah. Analisis data bersifat kualitatif karena data empiris yang diperoleh berupa kata-kata, bukan rangkaian angka. Analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada hubungan kerjasama Indonesia-Tiongkok dari awal normalisasi hubungan diplomatik hingga penandatanganan kemitraan strategis tahun 2005.