Analisis Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Analisis Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 1.90 MB
Jurusan Hukum
Jenis dokumen Esai/Tugas Kuliah
  • peradilan pidana
  • upaya hukum
  • korupsi

Ringkasan

I.Pengajuan Peninjauan Kembali PK dan Kasus Sudjiono Timan

Dokumen ini menganalisis upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), khususnya dalam kasus korupsi Sudjiono Timan, mantan Direktur PT (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Kasus ini melibatkan penyaluran dana pinjaman ilegal senilai USD 5.117.304.47 ke Kredit Asia Finance Limited (KAFL) di Hongkong. Putusan Mahkamah Agung No. 97 PK/Pid.Sus/2012 atas permohonan PK yang diajukan istri Sudjiono Timan, Fanny Barki, menjadi fokus analisis. Analisis ini meneliti apakah syarat formil dan materil PK terpenuhi berdasarkan Pasal 263 ayat 2 KUHAP, termasuk keberadaan novum atau keadaan baru yang menjadi dasar pengajuan PK.

1. Latar Belakang Kasus Korupsi Sudjiono Timan

Bagian ini menjelaskan tentang kasus korupsi yang melibatkan Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia menyalurkan dana pinjaman secara ilegal melalui metode Placement Line senilai USD 5.117.304.47 kepada Agus Anwar dan Franky Afandi, pemilik Kredit Asia Finance Limited (KAFL) di Hong Kong. Penyaluran dana ini dilakukan tanpa agunan dan melanggar prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan aset negara, mengakibatkan kerugian negara. Kasus ini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 25 November 2002. Meskipun perbuatan Sudjiono Timan terbukti, Mahkamah Agung (MA) membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Namun, di tingkat kasasi, Sudjiono Timan dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 369.446.905.115 karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Putusan MA yang membebaskannya, meskipun sebelumnya terbukti bersalah di tingkat kasasi, menjadi kontroversi dan memicu pembahasan mengenai selektivitas MA dalam menerima permohonan Peninjauan Kembali (PK), terutama dalam kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

2. Permohonan Peninjauan Kembali PK oleh Fanny Barki

Bagian ini berfokus pada permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Fanny Barki, istri Sudjiono Timan, terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Fanny Barki mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, yang mengatur tentang kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata. Ia menyampaikan lima alasan sebagai dasar permohonan PK. Namun, permohonan PK tersebut dinilai tidak mengungkapkan alat bukti baru (novum) atau keadaan baru yang substansial untuk mendukung klaim kekhilafan hakim. Dokumen ini menekankan pentingnya bukti baru (novum), baik berupa alat bukti surat maupun saksi, sebagai syarat materiil pengajuan PK. Penjelasan mengenai novum dalam perkara pidana dan perdata, serta perbedaannya, diuraikan untuk memberikan konteks yang lebih luas mengenai syarat materiil PK yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP. Tanpa bukti novum yang kuat, permohonan PK dapat ditolak, meskipun secara formil persyaratannya terpenuhi. Dokumen ini menganalisis apakah permohonan PK Fanny Barki memenuhi syarat materiil yang ditentukan dalam KUHAP.

3. Analisis Putusan Mahkamah Agung dan Implikasinya

Bagian ini menganalisis putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 terhadap Sudjiono Timan. MA mempertimbangkan syarat formil dan materiil PK. Meskipun syarat formil (hak ahli waris mengajukan PK) dipenuhi, syarat materiil yang diajukan oleh Fanny Barki—berdasarkan pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP tentang kekhilafan hakim—dinilai tidak terbukti. MA berpendapat bahwa unsur kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam penerapan hukum tidak terbukti karena putusan kasasi sebelumnya telah menyatakan Sudjiono Timan terbukti bersalah. Oleh karena itu, MA menolak permohonan PK karena syarat materiil tidak terpenuhi. Dokumen ini juga menyoroti penggunaan ajaran perbuatan melawan hukum materiil (materiile wederrechtelijkheid) oleh MA dalam beberapa putusan, termasuk putusan MA No. 2064/K/Pid/2006, dan bagaimana hal ini seharusnya menjadi rujukan dalam kasus Sudjiono Timan. Kesimpulannya, MA seharusnya lebih selektif dalam menerima pengajuan PK, terutama untuk kasus-kasus tindak pidana korupsi, dan memastikan terpenuhinya syarat formil dan materiil sesuai KUHAP.

II.Syarat Formil dan Materil Peninjauan Kembali PK

Dokumen ini menguraikan syarat formil PK yang mengatur siapa yang berhak mengajukan permohonan PK (Pasal 263 ayat 1 KUHAP), serta syarat materil PK yang meliputi tiga alasan utama: (a) adanya keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat akan putusan berbeda; (b) pertentangan dalam putusan sebelumnya; dan (c) kekhilafan hakim yang nyata. Perbedaan penerapan novum dalam perkara pidana dan perdata juga dibahas. Analisis mendalam dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung No. 97 PK/Pid.Sus/2012, menilai apakah permohonan PK dari Fanny Barki memenuhi syarat materil PK, khususnya terkait dengan alasan kekhilafan hakim.

1. Syarat Formil Peninjauan Kembali PK

Dokumen ini membahas syarat formil pengajuan Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Syarat formil ini berkaitan dengan siapa saja yang berhak mengajukan PK. Dokumen tersebut menekankan bahwa permohonan PK harus diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang sesuai ketentuan hukum, tidak hanya oleh terpidana sendiri, tetapi juga dapat diajukan oleh ahli waris. Namun, dokumen ini juga mencatat ketidakjelasan dalam KUHAP mengenai kedudukan ahli waris dalam mengajukan PK, yang dapat menjadi celah bagi terpidana kasus korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Kasus Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 yang diajukan Fanny Barki, istri Sudjiono Timan, digunakan sebagai studi kasus untuk menganalisis terpenuhinya syarat formil ini. Analisis difokuskan pada apakah Fanny Barki, sebagai ahli waris, memenuhi syarat formil untuk mengajukan PK. Dokumen tersebut menyimpulkan bahwa hak ahli waris dalam PK bersifat orisinil, bukan substitusi, sehingga pengajuan PK oleh Fanny Barki memenuhi syarat formil tersebut.

2. Syarat Materil Peninjauan Kembali PK

Bagian ini menguraikan syarat materiil pengajuan Peninjauan Kembali (PK) berdasarkan Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c KUHAP. Syarat materiil ini berfokus pada alasan-alasan yang mendasari pengajuan PK. Tiga alasan utama yang dibahas adalah: (a) adanya keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan tersebut telah diketahui selama persidangan, akan menghasilkan putusan bebas atau putusan yang lebih ringan; (b) adanya pertentangan dalam berbagai putusan yang telah dikeluarkan; dan (c) adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata. Dokumen tersebut menjelaskan perbedaan istilah dan penerapan novum dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara pidana, novum dapat berupa alat bukti surat maupun saksi, sementara dalam perkara perdata, novum umumnya melekat pada alat bukti surat. Dokumen ini menekankan bahwa keadaan baru (novum) harus merupakan fakta baru yang relevan dan dapat mempengaruhi putusan sebelumnya. Penggunaan Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP dalam permohonan PK Fanny Barki dianalisa. Dokumen tersebut mengkaji apakah alasan yang diajukan—kekhilafan hakim—memiliki dasar factual yang kuat dan memenuhi syarat materiil untuk PK.

3. Novum dan Keadaan Baru sebagai Syarat Materil PK

Bagian ini membahas secara detail tentang syarat materiil Peninjauan Kembali (PK) yang berkaitan dengan 'keadaan baru' atau 'novum'. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa untuk mengajukan PK, baik perkara pidana maupun perdata, salah satu syarat materiilnya adalah ditemukannya bukti baru atau keadaan baru yang disebut novum. Penjelasan lebih lanjut mengenai novum dalam konteks Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP diberikan. Perbedaan definisi novum dalam perkara pidana dan perdata dijelaskan, menekankan bahwa meskipun istilahnya berbeda, maksudnya tetap sama. Dalam perkara pidana, novum dapat diperoleh dari alat bukti surat maupun saksi, sedangkan dalam perkara perdata, novum biasanya berupa alat bukti surat. Dokumen ini menekankan bahwa novum harus merupakan keadaan baru yang belum diungkap dalam persidangan sebelumnya dan harus melekat pada alat bukti yang sah. Analisis lebih lanjut dilakukan mengenai bagaimana permohonan PK Fanny Barki, yang menggunakan alasan kekhilafan hakim, tidak memenuhi syarat materiil karena ketiadaan novum atau keadaan baru yang cukup untuk mendukung klaim tersebut.

III.Pertimbangan Mahkamah Agung dan Putusan Kasus Sudjiono Timan

Mahkamah Agung dalam Putusan No. 97 PK/Pid.Sus/2012 mempertimbangkan apakah syarat formil PK terpenuhi (yaitu hak ahli waris untuk mengajukan PK) dan apakah syarat materil PK terpenuhi, khususnya terkait dengan klaim kekhilafan hakim. Meskipun syarat formil PK dipenuhi, Mahkamah Agung menemukan bahwa syarat materil PK tidak terpenuhi karena tidak ada bukti yang menunjukkan kekhilafan hakim atau keadaan baru (novum) yang signifikan. Putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan Sudjiono Timan terbukti bersalah menjadi dasar penolakan pengajuan PK. Dokumen ini juga membahas peran Mahkamah Agung dalam menyeleksi permohonan PK, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan terpidana yang kabur ke luar negeri.

1. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan PK Nomor 97 PK Pid.Sus 2012

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 terhadap Sudjiono Timan melakukan pertimbangan dua hal utama. Pertama, MA menilai apakah syarat formil PK telah dipenuhi. Dalam kasus ini, permohonan PK diajukan oleh Fanny Barki, istri Sudjiono Timan, sebagai ahli waris. MA berpendapat bahwa hak ahli waris mengajukan PK adalah hak orisinil, bukan substitusi setelah kematian terpidana, sehingga syarat formil terpenuhi. Kedua, MA mempertimbangkan syarat materiil PK, yang merujuk pada Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP. Syarat materiil ini berkaitan dengan klaim kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata. MA menganalisis putusan kasasi sebelumnya, yang telah menyatakan Sudjiono Timan terbukti bersalah. MA berkesimpulan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata dalam putusan tersebut. Oleh karena itu, syarat materiil PK tidak terpenuhi.

2. Putusan Penolakan PK dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Fanny Barki. Penolakan ini didasarkan pada ketidakberhasilan pemohon membuktikan syarat materiil PK, khususnya terkait dengan klaim kekhilafan hakim. Putusan ini menegaskan pentingnya pemenuhan syarat formil dan materiil PK sesuai ketentuan Pasal 263 KUHAP. Dokumen ini juga membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum materiil (materiile wederrechtelijkheid) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Meskipun demikian, MA dalam praktiknya masih sering menggunakan ajaran perbuatan melawan hukum materiil, seperti terlihat pada putusan MA No. 2064/K/Pid/2006. Dokumen ini menyarankan agar MA lebih konsisten dan selektif dalam menerima permohonan PK, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi, untuk mencegah penyalahgunaan PK sebagai upaya menghindar dari jerat hukum. Putusan ini menekankan pentingnya kepastian hukum dan keadilan dalam proses peradilan.