
Analisis Kewenangan Badan Anggaran DPR RI dalam Pengelolaan APBN
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 536.11 KB |
Jurusan | Hukum Tata Negara/Ilmu Hukum |
Jenis dokumen | Makalah/Tugas Akhir |
- Pengujian UU
- Kewenangan Badan Anggaran
- Korupsi APBN
Ringkasan
I. 27 Tahun 2009 dan UU No
Dokumen ini membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XI/2013 yang menguji konstitusionalitas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Uji materi ini dipicu oleh kekhawatiran akan penyimpangan dan korupsi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) akibat kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap terlalu luas, khususnya terkait rincian anggaran hingga satuan 3. Pemohon judicial review berpendapat bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NKRI 1945, yang menekankan pengelolaan keuangan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kasus-kasus korupsi seperti Wisma Atlet dan lainnya menjadi contoh nyata dampak dari potensi penyelewengan anggaran.
1. Latar Belakang Judicial Review
Bagian ini menjelaskan inisiasi pengajuan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengajuan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap terlalu luas dalam membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama pemerintah. Para pemohon, yang mengatasnamakan diri sebagai Tim Penyelamat Keuangan Negara, menganggap kewenangan tersebut berpotensi menimbulkan penyimpangan, termasuk korupsi, dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NKRI 1945 yang mengatur agar APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mereka berargumen bahwa norma-norma yang mengatur proses APBN dan berpotensi menimbulkan kebocoran harus dikoreksi karena bertentangan dengan konstitusi. Intinya, judicial review ini bertujuan untuk memastikan pengelolaan APBN sesuai dengan prinsip kemakmuran rakyat dan mencegah korupsi.
2. Analisis Kewenangan DPR RI dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara
Bagian ini menganalisis secara detail pasal-pasal dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara yang mengatur kewenangan DPR RI, khususnya Badan Anggaran, dalam proses penganggaran APBN. Ditekankan pada kewenangan DPR untuk membahas APBN secara rinci hingga ‘satuan 3’, yang terdapat dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c UU MD3. Frase ‘rincian’ dalam pasal tersebut dinilai berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi. Selain itu, kewenangan DPR dalam Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3 dianggap mengandung ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, dibahas juga mengenai fungsi DPR yang meliputi legislasi, anggaran, dan pengawasan, serta kompleksitas tugas dan wewenang tersebut. Disebutkan bahwa pembahasan anggaran yang sangat terinci hampir tidak mungkin dilakukan DPR karena keterbatasan waktu dan kompetensi anggota. Akibatnya, potensi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi anggota DPR, bukan kemakmuran rakyat, sangat besar, dan memicu praktik calo anggaran dan korupsi. Pembahasan juga mencakup praktik pemblokiran/perbintangan anggaran oleh DPR yang menciptakan ketidakpastian hukum dalam penentuan mata anggaran.
3. Peran Badan Anggaran dan Potensi Penyelewengan
Bagian ini mendalami peran Badan Anggaran DPR RI dalam konteks fungsi anggaran. Dipaparkan bagaimana pembentukan Badan Anggaran yang bersifat tetap (Pasal 104 UU No. 27 Tahun 2009) memberikan peluang bagi partai politik untuk mengirimkan utusannya mencari dana untuk kepentingan partai. Kewenangan Badan Anggaran untuk menentukan anggaran hingga ‘satuan 3’ memungkinkan anggota DPR menentukan proyek negara dari hulu hingga hilir. Hal ini dinilai jauh dari misi konstitusional untuk memperjuangkan anggaran berbasis semangat kerakyatan. Penulis mencontohkan beberapa kasus korupsi yang memanfaatkan kelemahan sistem penganggaran, seperti kasus Wisma Atlet, Kemendiknas, pengadaan Al-Qur’an, dan lain-lain, sebagai bukti nyata potensi penyelewengan yang terjadi. Disebutkan juga adanya 'main mata' antara eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan anggaran karena pemerintah seringkali bergantung pada koalisi partai di parlemen. Penulis menyoroti bagaimana aturan-aturan yang ada justru memudahkan terjadinya manipulasi anggaran.
II.Permasalahan Kewenangan Badan Anggaran DPR RI
Fokus utama adalah kewenangan Badan Anggaran DPR RI dalam membahas dan menetapkan APBN. Pasal-pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 17 Tahun 2003 yang mengatur kewenangan tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi konflik kepentingan, membuka peluang korupsi dan penyimpangan anggaran. Penulis mempertanyakan apakah kewenangan DPR untuk membahas APBN secara rinci (‘satuan 3’) sesuai dengan prinsip 'sebesar-besarnya kemakmuran rakyat' sesuai UUD NKRI 1945. Terdapat juga kritik terhadap sifat tetap Badan Anggaran yang dianggap rentan terhadap praktik-praktik mencari keuntungan bagi kepentingan pribadi atau partai.
1. Kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang Terlalu Luas
Bagian ini membahas inti permasalahan, yaitu kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap terlalu luas dalam proses penetapan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dokumen tersebut menjabarkan bagaimana kewenangan ini, yang diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 dan UU Nomor 17 Tahun 2003, berpotensi menyebabkan penyimpangan dan korupsi. Proses pembahasan rancangan APBN yang dibagi habis ke komisi-komisi di DPR RI bersama kementerian/lembaga terkait, menurut dokumen ini, membuka celah penyelewengan. Fungsi penganggaran APBN yang tidak dijelaskan secara tegas dalam UU juga menjadi masalah. Kekhawatiran utama adalah kewenangan DPR untuk menentukan mata anggaran dari hulur hingga hilir, yang melebihi fungsi penganggaran dan kontrol yang lazim dalam sistem presidensial. Penulis berpendapat bahwa kewenangan yang demikian luas ini, khususnya kewenangan untuk membahas APBN secara terinci hingga ‘satuan 3’, berpotensi memicu konflik kepentingan dan korupsi, sehingga bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 23 ayat (1) tentang kemakmuran rakyat.
2. Ketidakpastian Hukum dan Potensi Konflik Kepentingan
Diuraikan lebih lanjut mengenai pasal-pasal dalam UU yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi konflik kepentingan. Pasal 157 ayat (1) huruf c UU MD 3, khususnya frase ‘rincian’, serta Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU MD 3 dianggap bermasalah karena berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi. Penulis menekankan bahwa DPR yang memiliki tiga fungsi luas (legislasi, anggaran, pengawasan) dan tugas kompleks, tidak memiliki waktu dan kompetensi yang cukup untuk membahas anggaran secara sangat terinci. Akibatnya, hanya anggaran yang terkait kepentingan anggota DPR yang akan dibahas secara rinci, bukan anggaran untuk kemakmuran rakyat. Ini menyebabkan potensi konflik kepentingan, memicu praktik calo anggaran dan korupsi. Sistem Badan Anggaran yang bersifat tetap, bukan ad hoc, juga dikritik karena meningkatkan risiko tersebut. Pemberian tanda bintang pada anggaran oleh DPR juga disebut menciptakan ketidakpastian hukum.
3. Kelemahan Sistem dan Urgensi Perubahan
Bagian ini menyoroti kelemahan sistem penganggaran yang ada dan urgensi perubahan untuk mencegah penyelewengan. Penulis berpendapat bahwa kebocoran anggaran bukan hanya disebabkan oleh pasal-pasal UU yang terlalu luas, tetapi juga ulah oknum di Badan Anggaran DPR yang mencari keuntungan pribadi. Meskipun DPR dan Presiden memiliki wewenang membahas RAPBN menjadi APBN dengan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat 2 UUD 1945), masalah tetap ada karena adanya ‘main mata’ antara eksekutif dan legislatif. Penulis menyimpulkan bahwa kewenangan DPR yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 17 Tahun 2003 jauh dari misi konstitusional untuk memperjuangkan anggaran berbasis semangat kerakyatan dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NKRI 1945. Oleh karena itu, pengujian UU (judicial review) dilakukan untuk memperbaiki sistem penganggaran agar lebih berlandaskan semangat kerakyatan daripada kepartaian.
III. 35 PUU XI 2013 dan Implikasinya
Putusan MK No. 35/PUU-XI/2013 menjadi inti analisis. Putusan tersebut memangkas beberapa kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap bermasalah. Penulis menelaah dasar pertimbangan hukum putusan MK tersebut dan dampaknya. Terdapat perbedaan pendapat mengenai putusan MK, sebagian menilai putusan tersebut sebagai kompromi. Penulis menganalisis implikasi positif dan negatif putusan MK terhadap proses penganggaran APBN dan peran Badan Anggaran DPR RI. Percepatan perencanaan APBN menjadi implikasi positif, sementara pelebaran peran eksekutif dan penyempitan peran Badan Anggaran menjadi implikasi negatif.
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 PUU XI 2013
Bagian ini berfokus pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XI/2013 yang menjadi pusat analisis dokumen. Putusan ini merupakan hasil dari judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yang sebelumnya dinilai berpotensi menimbulkan penyimpangan dan korupsi dalam pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) karena kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap terlalu luas. Putusan MK ini memangkas beberapa kewenangan Badan Anggaran DPR RI yang dianggap bermasalah, khususnya yang terkait dengan rincian anggaran hingga satuan 3. Dokumen tersebut menyebutkan adanya perbedaan pendapat terkait putusan MK ini; sebagian pihak menilai putusan tersebut sebagai kompromi karena tidak membubarkan Badan Anggaran sepenuhnya, meskipun memangkas sebagian kewenangannya. Penulis selanjutnya akan menganalisis lebih dalam dasar pertimbangan hukum putusan MK tersebut serta implikasinya terhadap proses penganggaran dan peran Badan Anggaran.
2. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Putusan MK
Bagian ini secara khusus membahas dasar pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013. Penulis mengevaluasi apakah dasar pertimbangan hukum tersebut sudah sesuai dengan putusan yang dihasilkan. Terdapat perbedaan pandangan antara penulis dengan putusan MK terkait penyebab kebocoran APBN; penulis berpendapat kebocoran tersebut bukan karena pasal-pasal UU yang terlalu luas, melainkan karena ulah oknum di Badan Anggaran. Penulis ingin menggali lebih dalam apakah putusan MK tersebut sudah sesuai dengan dasar pertimbangan hukum yang ada dan apa implikasinya. Ini penting untuk memahami sejauh mana putusan MK telah mengatasi masalah kewenangan Badan Anggaran DPR RI dalam mengelola APBN dan mencegah penyelewengan.
3. Implikasi Positif dan Negatif Putusan MK
Dokumen ini menjabarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013. Penulis mengidentifikasi adanya implikasi positif dan negatif dari putusan tersebut. Implikasi positif yang disebutkan adalah percepatan dalam perencanaan APBN. Sebaliknya, dampak negatif yang diungkapkan adalah pelebaran peran eksekutif dan penyempitan peran Badan Anggaran DPR RI. Penulis menyimpulkan bahwa putusan MK tersebut, meskipun bertujuan baik, memiliki implikasi yang kompleks dan memerlukan analisis lebih mendalam. Penulis mempertanyakan apakah dasar pertimbangan hukum putusan MK sudah sesuai dan apakah peran Badan Anggaran dalam menyetujui pembahasan APBN bersama pemerintah akan menjadi kurang maksimal setelah pemangkasan kewenangan tersebut. Saran yang diajukan adalah agar Hakim Mahkamah Konstitusi lebih bijaksana dalam memutus putusan dengan mempertimbangkan dasar pertimbangan hukum secara cermat.
IV.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, menganalisis bahan hukum primer (perundang-undangan) dan bahan hukum sekunder (karya ilmiah, jurnal). Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, meliputi penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, dan sosiologis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XI/2013, UU No. 27 Tahun 2009, dan UU No. 17 Tahun 2003.
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Ini berarti penelitian ini berfokus pada kajian terhadap produk hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pusat perhatian penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Penelitian ini menganalisis berbagai aspek hukum, termasuk Negara Hukum, Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, konsep Judicial Review, Putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan, keuangan negara, dan Badan Anggaran DPR RI. Dengan pendekatan ini, penulis bertujuan untuk memahami kerangka hukum yang relevan dan menganalisis apakah terdapat inkonsistensi atau ketidakjelasan dalam regulasi yang berkaitan dengan kewenangan Badan Anggaran DPR RI dalam pengelolaan APBN.
2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan berbagai jenis bahan hukum. Bahan hukum primer diperoleh dari hukum positif atau perundang-undangan yang terkait langsung dengan masalah yang dibahas, seperti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Bahan hukum sekunder meliputi karya ilmiah, hasil penulisan, jurnal, dan artikel yang mendukung analisis. Bahan hukum tersier mencakup kamus hukum dan ensiklopedia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan sebanyak mungkin yang berhubungan dengan masalah penelitian dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan yang relevan. Teknik analisis data yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Selain itu, penulis juga menggunakan berbagai teknik penafsiran hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, dan sosiologis untuk memahami secara mendalam berbagai aspek hukum yang relevan.
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian mencakup berbagai sumber. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri bahan hukum dan informasi tertulis dari berbagai perpustakaan, termasuk buku-buku ilmu hukum, media cetak, dan media elektronik. Penelusuran internet juga dilakukan untuk mengkaji informasi dan mencari data tambahan melalui jurnal atau artikel daring yang berkaitan dengan penelitian. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 merupakan sumber data utama. Data-data pendukung lainnya berasal dari berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian, yaitu hukum keuangan negara, hukum ketatanegaraan, ilmu perundang-undangan, dan studi terkait kewenangan Badan Anggaran DPR RI. Semua data tersebut kemudian dianalisa untuk menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan berdasarkan bukti-bukti hukum yang valid.